My Facebook

not shown

Senin, 11 April 2011

Kenapa Harus Prokonflik?

Akhir-akhir ini berita di TV berkutat mengenai 4 hal: bom buku, bahaya nuklir Jepang, kerusuhan Timur tengah dan perang Libya. Berita-berita ini sepertinya menginterupsi suguhan TV yang biasanya bersifat entertainment dan lifestyle. Hidup memang bisa berisi konflik, ga mungkin bisa tenang terus.

Gue memang bukan aktivis, dari dulu sampai sekarang gue ga tertarik untuk aktif dalam pergerakan tertentu. Kalau pernah ikutan kepanitiaan juga cuma satu dua, dulu banget waktu ada acara keputrian ski stt telkom dan ospek himpunan. Itu juga setelah ditarik dan dipaksa sana sini. Walaupun bukan orang aktif dan bukan dari keluarga broken home, gue sadar bahwa hidup tuh penuh dengan konflik. Gue hidup di kota besar yang memang selalu ada konflik, sahabat gue SMP juga dari keluarga broken home dan dari lingkungan yang berbeda jauh dengan gue.   

Kesadaran akan konflik membuat kita harus hati-hati dalam bersikap agar tidak mencetus konflik. Kesadaran akan konflik juga membuat kita sensitif terhadap segala sesuatu disekeliling kita. Sewaktu remaja, konflik kita paling seputar hubungan dengan orang tua, sekolah dan perasaan (bukan hubungan!) dengan lawan jenis. Sebagai ABG, seorang anak mungkin tidak menuruti semua perkataan orang tuanya, bolos sekolah, atau naksir seseorang. Selama dalam batas wajar ga apa-apa kan.

Beranjak dewasa, konflik dapat berkembang dan mungkin lebih kompleks tergantung lingkungan kita berada. Ketika kita berada dalam lingkungan kerja yang banyak berinteraksi dengan orang lain, sikap, perbuatan dan perkataan pastinya kita jaga jangan sampai melebar masuk ke wilayah non-formal. Kalau kemudian harus masuk lebih jauh supaya terlihat aktif, baiknya pahami dulu permasalahannya, jangan asal ikut-ikutan. Lebih baik melakukan aktivitas interaksi seperti percakapan daripada harus memonopoli tingkah laku agresif dan masuk ke wilayah abu-abu. Terkadang orang yang proaktif dapat menjelma menjadi prokonflik. Percayalah, akan lebih banyak ruginya kalau diteruskan. Yah, kalau mau main bom-bom car, nabrak sana, nabrak sini, seperti ga ada aturan, lebih baik ga usah sekolah aja. OK?

Lucunya lagi, saya sering banget ketemu sama orang-orang fear-mongering. Mereka percaya akan sebuah hal yang menakutkan sampai akhirnya mereka harus membuktikan hal tersebut sebagai sebuah pelajaran. Pada akhirnya, mereka malah menjadi pelaku aktif dari hal yang menakutkan tersebut dan secara tidak langsung mengabsahkan tindakan tersebut wajar dilakukan oleh masyarakat, kepada dirinya atau orang-orang yang dia sayangi. Pernah ada seorang rekan yang mengatakan "Jangan mengharapkan keadilan karena keadilan tidak ada di dunia ini." Dan memang kemudian dia terapkan dengan baik hal tersebut, dia kemudian berlaku tidak adil kepada saya dan entah kepada siapa lagi. Ada lagi yang mengatakan "Doa orang yang teraniaya pasti dikabulkan," dan dia pun sibuk menganiaya orang supaya orang tersebut berdoa dan doanya dikabulkan. 
Yang seperti ini kalau dilanjutkan nanti akan menjabarkan program pemberantasan kemiskinan menjadi program memberantas yang miskin dan program pemberantasan kebodohan menjadi memberantas yang bodoh. Ya, secara logika hasil akhirnya mungkin sama tapi perlu ditegaskan bahwa akan ada konflik yang menyertainya.

Satu hal lagi, melakukan sesuatu yang diluar proporsinya juga memicu konflik. Jadi jangan berlebihan. Contohnya aja gedung DPR yang baru yang menelan biaya trilyunan, apa tidak terlalu megah untuk orang Indonesia yang masih banyak masalah? Nanti malah DPR dan rakyatnya jadi saling curiga dan komunikasi ga berjalan lancar. Apa tidak semakin penuh konflik nantinya?

0 comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites Gmail More