The optimist says the glass is half full. The pessimist says the glass is half empty. The engineer says the glass is twice as big as it needs to be. Unknown.
Gue nonton film Paul, eh, kok ada yang aneh ya, ada nama gue kayaknya tapi ga begitu jelas sih...di majalah yang dibuat sama temennya si Paul. Jarang-jarang nama yang mirip gue tuh...walaupun ada. Kalau tanggal lahir, temen sekantor dulu ada yang samaan tanggal lahirnya. Padahal dari gue SD sampai kuliah ga pernah ada yang samaan. Eh, di kantor gue yang dulu malah ada yang sama.
Kalau masalah tanggal ulang tahun, MetroTV punya nomor HP cantik yang harusnya buat gue...soalnya tanggal lahir gue kepakai semua di nomor cantik tersebut dan terpampang setiap pagi!
Terus kalau gue ketik nama gue di internet, larinya ternyata ke situs mobil balap kuno!
Lihat mobil balap kerennya.
Bicara soal Paul yang alien, ada orang yang berpikir bahwa kalau tidak realistis maka cara berpikir kita seperti alien. Kebanyakan orang mengartikan kalimat tersebut sebagai orang yang seperti alien adalah orang yang aneh atau lain sendiri karena tidak realistis. Tapi sebenarnya ada hal yang lebih mendasar lagi mengenai arti dari kalimat tersebut.
Setiap manusia mendapat karunia indera yang bisa merasakan dan menangkap sesuatu yang kemudian disimpan dalam bentuk informasi. Persepsi manusia kemudian menggunakan informasi tersebut dan mengolahnya menjadi gambaran sebuah realitas yang bisa mempengaruhi keputusan manusia. Persepsi dan perspektif manusia berkembang seiring dengan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan, harapan, atau bisa juga karena opini dan permasalahan yang berkembang di masyarakat. Karena persepsi dan perspektif yang berubah-ubah inilah yang menyebabkan realitas yang terbentuk menjadi bersifat dinamis. Realitas juga tidak memiliki dasar dan batasan yang jelas dan
distorted karena tidak terbatasnya informasi yang tersedia dan adanya berbagai macam perspektif. Tapi, justru karena semua dinamika inilah yang membuat realitas jadi sangat menarik, sehingga banyak orang yang terjebak pada realita kehidupan dimana sebenarnya manusialah pembuat realitas tersebut.
Realitas juga dapat membuat orang merasa
insecure karena seseotrang terus menerus dituntut untuk bergerak dinamis sesuai dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Rasa
insecure ini ada, juga karena realitas, yang tidak mempunyai dasar dan landasan sehingga dapat terus dipacu bergerak, sangat rentan terhadap manipulasi dan tipuan. Ironinya, rasa
insecure ini pulalah yang kemudian mendorong manusia terjebak
dalam manipulasi dan tipuan yang dipersembahkan kehadapan mereka
karena berusaha mengejar realitas yang bisa membuat dirinya
secure. Hal lainnya yang lebih mendasar yang bisa mempengaruhi keputusan manusia seperti pengetahuan, nilai yang dimiliki manusia itu sendiri, dan yang terpenting, agama, terkadang hanya dipakai sebagai nuansanya saja. Seperti bungkusan apik atas kado-kado yang dapat memenuhi nafsu manusia dalam sebuah perayaan atau pesta.
Realitas juga dapat dimanipulasi untuk mengeksploitasi psikologi dan perasaan emosi dari manusianya. Hal ini karena kebutuhan, harapan, permasalahan dan opini-opini yang dimunculkan sebagai sebuah realitas berpengaruh langsung terhadap keadaan dan kondisi seorang individu. Akibatnya, banyak yang mengambil keputusan berdasarkan apa yang dirasa benar dan bukannya berdasarkan pada sebuah kebenaran mutlak. Jadi, GR atau Gede Rasa juga bisa digunakan untuk mendistorsi realitas karena manusia akan lebih memilih realitas yang menyenangkan dan meninggikan daripada yang tidak menyenangkan dan merendahkan ketika dua pilihan tersebut ada dan tersedia. Realistiskah kalau kita mengambil hal yang lebih menyenangkan daripada yang tidak? Ya. Tapi bukankah hal yang realistis harusnya lebih menggunakan nalar? Ya juga. Realitas memang sangat tidak konsisten sperti juga jalan pikiran manusia, makanya manusia tidak bisa menggunakan realitas sebagai pedoman dan patokan jalan hidup.
Terkadang manusia mengambil keputusan karena nalarnya menyatakan hal tersebut benar. Tapi, ketidak konsistensian realitas sebenarnya berasal dari persepsi manusia (dengan inderanya) yang memang tidak bisa menilai sesuatu dengan pasti(yang pasti-pasti aja? LOL). Ada banyak informasi yang tersedia dan tidak semuanya bisa ditangkap oleh indera manusia sehingga realitas tidak bisa sepenuhnya tergambarkan. Keterbatasan manusia inilah yang seharusnya membuat manusia sadar kalau dia memang tidak bisa berpikir panjang. Tidak cukup panjang untuk bisa membenarkan suatu hal yang salah, tidak cukup panjang untuk mempunyai misi dan tujuan yang baik tapi dengan cara-cara yang melanggar.
Ketika manusia dihadapkan kepada sebuah permasalahan dan sebuah jalan keluar, pasti yang diambil adalah jalan keluar yang bisa menghilangkan (meninggalkan) permasalahan, dan bukannya
berhenti dulu
mengambil permasalahannya untuk dapat menghadapi dan menganalisa permasalahan tersebut. Apakah hal tersebut realistis kalau orang lebih suka berlari? Ya, kalau dilihat dari sifat manusia yang egois dan ingin gampangnya saja, tapi tidak, kalau dilihat bahwa sebuah jalan keluar tidak akan ada sebelum permasalahannya ditelaah. Lagian bukankah GR namanya kalau jalan keluar bisa semudah itu didapat walaupun menurut nalar jalan keluar itu bisa diterima? Makanya, ketika pedoman (keyakinan) kita dalam mengambil keputusan adalah berdasarkan realitas, maka keputusan yang diambil akan mengedepankan egoisme dan harga diri karena manusia terjebak untuk mempertahankan realitas yang menenangkan dan memudahkan untuk dirinya. Hal ini juga berarti bahwa sebenarnya ego dan gede rasa ini dapat menjadi faktor intrinsik yang mempunyai peran penting dalam membangun (atau mendistorsi?) realitas di masyarakat.
Setiap manusia mempunyai sifat egois dan harga diri tinggi (pride), untuk dirinya sendiri atau untuk kelompoknya. Terkadang egoisme dan pride ini harus melampaui harga komunitas sosial diatasnya, bahkan melampaui harga kemanusiaan atau harga sebuah keyakinan supaya ego dan pride bisa exist. Makanya, ketika egoisme dan pride ini exist dalam taraf yang mengkhawatirkan, biasanya akan mengikis sistem yang diatasnya, bahkan sistem yang menaunginya. Ego dan pride ini kemudian dapat sangat berbahaya karena dapat digunakan dalam politik divide and conquer, mengarahkan kekuatan lawan pada ambisi pribadi atau kelompok.
Egoisme dan pride bisa dipupuk mulai dari bangku sekolah ketika kita memilih teman tertentu berdasarkan status misalnya, dan mengunci informasi hanya untuk teman-teman tertentu. Bisa juga didalam keluarga ketika kita mendapat pembenaran atau pengingkaran padahal sudah melakukan kesalahan. Dapat juga dimulai dengan banyaknya kata saya, untuk saya dan mengenai saya atau kalau bicara orang lain ya, mengenai dia, karena dia dan untuk dia. Seperti detached dengan keadaan yang sebenarnya terjadi, atau kalau bisa dibilang penguncian terhadap hal yang lainnya. Egoisme inilah yang kemudian membuat manusia selalu melihat keatas sehingga keputusan yang diambil seperti melayang-layang dan tidak membumi. Egoisme juga yang membuat manusia tidak sabar dan tamak dalam mengambil keputusan.
Gue kasih satu contoh sederhana bagaimana keputusan manusia berdasarkan realitas dan nalar sangat tidak konsisten hasilnya. Si Bunga diberikan suatu subset permasalahan dan solusi. Dia diberitahu bahwa
ada seseorang dalam bahaya sehingga dia harus melindungi atau mengcover orang tersebut, sekaligus memberikannya bekal kemampuan agar bisa melawan bahaya tersebut. Tapi semuanya itu harus dilakukan secara diam-diam, supaya tidak membuat orang tersebut ketakutan dan supaya dia bisa menjadi lebih mandiri. Secara nalar, subset masalah beserta solusinya tersebut bisa diterima, tapi penyederhanaan masalah dengan solusi yang dibatasi tersebut pada implementasinya bisa mendatangkan bahaya yang jauh lebih besar lagi, baik untuk orang tersebut, atau si Bunga sendiri atau bahkan orang lain. Kenapa? Karena didalam subset tersebut ada konstrein yang berupa syarat, ada insentif dan reward yang bisa mengeleviate perasaan dan keadaan seseorang, ada pula ego dari individu (si Bunga) dan juga ada harapan tersembunyi agar orang yang dalam bahaya tersebut bisa menggunakan bekal yang diberikan. Konstrein atau syarat yang harus dipenuhi oleh si Bunga, yaitu mengcover dengan cara diam-diam, secara implementasi berarti melanggar aturan dan kode etik, karena diam-diam sama dengan sembunyi dari sistem. Tapi, karena adanya insentif seperti perkataan "menolong orang yang ada dalam bahaya" pelanggaran tersebut seperti mendapat justifikasinya. Apalagi ketika "menolong orang yang ada dalam bahaya" tersebut juga mengisyaratkan adanya
reward untuk si Bunga, yang secara nalar adanya
reward memang mengindikasikan hasil dari sebuah pertolongan atau adanya niat baik. Lagipula,
reward tersebut dapat menjadi bekal dikemudian hari agar bisa menolong sesama lagi. Hmmmm...make
sense juga sih, tapi bagaimana
reward yang berasal dari sebuah syarat yang memicu aksi pelanggaran dapat bermanfaat? Apa keyakinan kita sedang diuji disini untuk menyangsikan bahwa pelanggaran sebenarnya bisa bermanfaat, bisa memberikan hikmah?
OK, balik kepada subset permasalahan. Secara implementasi, sebenarnya memberikan bekal kemampuan dan kemandirian dapat saling bertolak belakang dengan perlindungan apabila batasannya longgar. Bahkan perlindungan yang diam-diam itu saja sebenarnya bukan perlindungan yang sesungguhnya, karena memakai cara-cara siluman seperti penampakan dan penghilangan sesuatu atau nilai. Walhasil, orang yang dalam bahaya tersebut sekarang lebih dalam bahaya lagi karena ditekan oleh cara-cara siluman tersebut dan fasilitatornya yang pastinya berasal dari dunia gelap. Sudah ga sesuai dengan nalar lagi kan? Lalu bekal kemampuan yang seperti apa yang mempunyai batasan longgar? Bekal kemampuan mengatasi intrik dengan sengaja menciptakan intrik dan kebohongan, kemampuan mengatasi godaan dengan sengaja menciptakan godaan, kemampuan menampik kesalahan dengan sengaja memberikan dan membuka kesempatan yang menjerumuskan, mengajarkan hidup dengan mempertontonkan dan menceritakan hal yang tidak pantas atau mengatakan hal yang tidak senonoh, kemampuan mengatasi perbuatan jahat dengan sengaja berbuat jahat dan pengkhianatan. Walhasil, si Bunga bukannya menolong orang dalam bahaya, tapi dia sendiri sibuk berbuat dan menyiarkan dosa (agar ada yang bisa belajar darinya? Yup, Bunga losing something). Dengan melakukan pelanggaran disengaja tersebut, batasan agama kita sudah hilang karena kita sudah tidak percaya lagi sama ajaran agama kita sendiri yang mengatakan bahwa pelanggaran (walaupun disengaja) adalah hal yang harus dihindari dan bukannya pelanggaran bisa memberikan kebaikan.
Kemandirian sendiri bisa jadi bablas misalnya, ketika si Bunga percaya 100% bahwa hal-hal buruk tidak akan terjadi, padahal dia tidak memberi batasan sehingga menyebabkan terbukanya kesempatan terjadinya hal-hal buruk tersebut. Ibaratnya sebuah barak dimana masing-masing individu bercampur baur dan diberi kepercayaan penuh tanpa ditegakkannya aturan yang jelas, pokoknya semua dianggap bisa mandiri alias menjaga diri sendiri hanya karena individu-individu tersebut dapat dipercaya. Batasan dan aturan yang harusnya ditegakkan dihilangkan, karena kepercayaan kita sudah pindah menjadi kepercayaan kepada suatu misi yang baik dan kepada individu pelaksananya.
Lagipula kenapa harus menyelesaikan masalah dengan solusi yang dibuat-buat seperti itu? Masalah adalah hal yang wajar didalam kehidupan, manusia mengambil keputusan dan kebijakan yang salah setiap waktu sesuai dengan ruang lingkup yang dimilikinya, dan agama/negara mengatur solusinya. Yang tidak wajar adalah ketika ada yang berusaha mengurangi masalah dengan jalan yang salah (melanggar) sehingga malah membuat masalah baru sekaligus
memperluas ruang lingkup permasalahan (sekarang masalah bertambah dengan keikutsertaan si Bunga). Bukankah sudah ada cara-cara sederhana yang diatur di dalam ajaran agama yang dimiliki si Bunga atau aturan yang berlaku secara umum kalau memang dia seorang yang punya keyakinan? Kompleksitas solusi yang seperti itu bukan hanya dapat menjebak orang yang akan ditolongnya, tapi mungkin saja sebenarnya memang ditujukan untuk menjebak si Bunga sendiri kedalam maksud sebenarnya pemberian reward tersebut. Jujur saja, mungkin orang yang dalam bahaya itu sebenarnya tidak dalam bahaya, tapi setelah si Bunga melakukan cara-cara siluman dan menerima reward, si Bunga sendiri yang menempatkan orang tersebut (dan juga si Bunga-nya sendiri) dalam bahaya .
Lalu, bagaimana kemudian terhadap orang yang lagi ditolong tersebut, apa yang terjadi kepadanya setelah bekal kemampuan dan kemandirian diterimanya dari si Bunga yang dilakukan dengan cara-cara "menyimpang" tersebut? Si Bunga kemudian dengan kepercayaannya yang sudah menyimpang jauh dan karena sudah dibutakan oleh
reward yang diberikan kepadanya, setelah menarik orang tersebut keluar dari sistem (didalam aja udah bahaya apalagi diluar?), mendorong orang yang ditolongnya tersebut untuk berhadapan dengan bahaya yang tidak pernah ketahuan wujudnya apa. Hal tersebut dilakukan karena keyakinan bahwa solusi yang dilakukannya, yang tanpa pernah menyentuh permasalahan dan tanpa mengenal lebih jauh siapa si pemberi solusi, dapat senantiasa berguna. Si Bunga ini kemudian menginspirasi bunga-bunga yang lainnya untuk dapat melakukan hal yang sama dan mendapat
reward tersebut. Dari sini, kompleksitas yang dihasilkan dari suatu solusi akhirnya menjadi lebih besar dari masalahnya. Ruang lingkup menjadi semakin besar karena solusi menimbulkan masalah baru menyangkut adanya reward dan cara-cara siluman, dan juga semakin banyaknya orang mengikuti jejak si Bunga yang semakin menambah runyam permasalahan.
Akhirnya, realitasnya yang terjadi kemudian untuk si Bunga dan orang yang ditolongnya adalah dua-duanya dalam bahaya. Ini akibat penggunaan nalar dan realitas dalam pengambilan keputusan karena si Bunga menganggap dirinya lebih bijak dan lebih mempunyai pemikiran yang panjang daripada Tuhannya akibat sudah terbuai-buai akan reward dan ego, serta perasaan bahwa dirinya lebih penting dari orang yang ditolongnya. Lagipula, apa tidak terbuai namanya ketika si Bunga mengharapkan dan bermimpi bahwa bantuan yang diberikannya adalah yang terbaik untuk orang yang ditolongnya tersebut, padahal si Bunga sendiri sudah salah jalan dan belum punya kewenangan dan otoritas yang dibutuhkan?
Realitas kalau manusia selalu berbuat dosa, tapi kenapa realitas ini yang kemudian dipakai sebagai patokan dan pedoman jalan hidup? Dalam hal si Bunga, dia dihadapkan pada realitas bahwa ada orang dalam bahaya tapi dia tidak menyadari bahwa realitas tersebut dapat membahayakan dirinya ketika dia tidak mempunyai batasan dan penegakan aturan di dalam sistem dimana dia berada dan ajaran agama dia sendiri. Dia juga menempatkan kepercayaan yang besar bukan kepada Yang Diatas, tapi kepada orang yang memberikan subset permasalahan/solusi tersebut. Masa sih dia menaruh harapan kepada solusi siluman dan bukan pada aturan-aturan yang ditetapkan sama Yang Diatas dan aturan di dalam sistem? Adanya konstrein dan syarat yang ditetapkan dalam tindakan si Bunga juga sebenarnya sudah menyimpangkan si Bunga atas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh si Bunga. Larangan yang dipegang si Bunga (dengan tidak memperingatkan atau memberi tahu adanya bahaya pada orang yang ditolongnya) adalah larangan yang mengada-ada dan bertentangan dengan ajaran agamanya dan kode etik yang berlaku. Yang terlarang dilaksanakan dan yang ga dilarang malah menjadi larangan.... Still feeling right with the subset?
Ketika terjadi permasalahan, ada saja orang yang kemudian menggunakan takdir sebagai alasan berkelit, "manusia jalannya memang kayak gini, sudah takdirnya." Tapi bolehkah kita terus menerus menyalahkan takdir dan kodrat akan hal-hal yang terjadi dan dilakukan, padahal kita sama sekali tidak peduli akan takdir dan kodrat tersebut, karena selalu berusaha kita ingkari dan terabas dengan pergerakan yang kita lakukan? Untuk kasus si Bunga, sebelum dia melakukan sesuatu, seharusnya dia menanyakan kepada dirinya sendiri apakah tindakan dia tidak melanggar takdir orang yang ditolongnya, ketika takdir orang tersebut adalah dia merupakan amanah dari orang lain? Bukankah si Bunga sendiri sudah bergerak seperti malaikat penyelamat yang hanya peduli pada sebuah misi padahal dia cuma manusia biasa?
Yang lebih parah lagi adalah ketika si Bunga ini menyadari dia mendapat masalah dikemudian hari atas apa yang dilakukannya. Dengan siasat tertentu dari orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, bisa saja kemudian si Bunga menyalahkan apa yang terjadi, kepada orang yang berusaha ditolongnya tersebut, karena si Bunga terjebak untuk menyalahkan motifnya dan bukan apa yang sudah dilakukannya. Padahal, sebelum si Bunga mendapat masalah, motif ini berusaha disembunyikannya. Kelemahan yang seperti ini klasik sebenarnya, motif adalah hal yang dapat meringankan bahkan mengeliminasi suatu kesalahan, dan bisa timbul tenggelam sesuai keinginan si pelaku. Hal yang sudah sangat bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip dasar dari ajaran agama dan aturan hukum yang berlaku dimana perbuatanlah yang pantas ditindak dan bukan motifnya.
Aturan dan hukum, baik agama maupun negara, dibuat sebagai solusi sistemik didalam masyarakat. Apabila seseorang dalam bahaya karena kegagalan sistemik, maka masalah yang ditimbulkan adalah akibat dari sistem yang tidak berjalan. Sementara, tindakan solusi yang dilakukan si Bunga adalah hal yang personal (untuk dirinya dan orang yang ditolongnya) dan bukan sistemik lagi karena yang dilakukan si Bunga adalah sembunyi dari sistem (keluar dari sistem). Jadi, ketika si Bunga tidak bisa (atau tidak mau) menyelesaikannya dan mengakuinya secara terbuka, bisa saja tanggung jawab ini kemudian menjadi sebuah konsekuensi dimana si Bunga harus membayar kesalahannya secara personal diluar sistem yang berlaku. Apalagi ketika si Bunga terpengaruh untuk melakukan tindakan yang menyalahkan motifnya atas masalah yang menimpa dirinya, semakin besarlah konsekuensi yang harus diterimanya dari orang-orang diluar sistem tersebut. Dan perlu diingat bahwa konsekuensi diluar sistem biasanya akan mengenai bukan hanya si Bunga sendiri, tapi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan permasalahan. (This seems lampu ijo utk something really3x baddd).
Terkadang orang yang terjebak dengan realitas kehidupan akan terjebak pada kelemahan-kelemahan mendasar manusia yang tidak berbatas, karena digunakannya berbagai alasan dan justifikasi. Sebenarnya, kelemahan manusia yang tidak berbatas inilah terkadang yang tidak disadari sepenuhnya oleh manusianya. Realitas kemudian mengkonsumsi manusianya dari dinamika realitas yang mereka bentuk. Feminisme misalnya akan mengkonsumsi manusianya ketika kaum feminis menuntut kesetaraan secara kuantitas dimana malah akan berpengaruh negatif terhadap daya kompetitif dari masyarakat secara keseluruhan. Multikulturalisme juga akan mengikis habis tradisi dan budaya ketika multikulturalisme tersebut dibawa masuk kedalam ranah suatu budaya dan ranah personal orang-orang yang menjadi penyangga budaya tersebut (Multikulturalisme harusnya berada tepat diatas bermacam-macam kultur dan bukan infiltrasi kedalamnya yang membuat batasan sebuah kultur menjadi ambigu). Ketika sebuah kultur hilang maka yang terjadi kemudian adalah kultur homogen dimana sudah tidak ada lagi multikulturalisme dan tidak dibutuhkannya lagi toleransi antar kultur hanya karena pribadi-pribadinya tidak bisa menjaga semangat dari budayanya sendiri. Begitu juga dalam pengambilan inisiatif, ga perlu kebawa inisiatif yang macam-macam sampai memakan akal sehat. Terkadang orang mengajak untuk mengambil inisiatif dimana ajakan tersebut ternyata bukan berasal dari inisiatifnya sendiri. Untuk apa mendorong orang untuk punya inisiatif ketika dianya sendiri hanya mengikuti angin yang berhembus? Apa hal tersebut tidak menjebak namanya? Apa tidak lebih baik fokus kepada apa dan siapa dan punya kewenangan apa ketika akan mengambil tindakan? Dalam kehidupan beragama, ketika ada yang menjustifikasi sebuah pelanggaran sebagai cobaan yang harus diterima, maka pelanggaran tersebut akan terus berlanjut sampai ada suatu hal yang menghentikannya, yang bisa jadi hal tersebut adalah sebuah malapetaka yang menghancurkan manusianya. Perkataan seperti "menerima apa adanya" yang harusnya diberlakukan hanya dalam lingkup terbatas malah terus dikerek menjadi menerima pelanggaran alias mengikhlaskan pelanggaran-pelanggaran yang ada. Manusia memang kalau sudah jahil bisa balik ke jaman jahiliyah dulu, ga ada aturan. Realitas memang dapat menciptakan zombie-zombie yang mengkonsumsi manusia lewat tindakan-tindakan tanpa batas aturan, norma, dan adat yang dilakukannya.
Kasus yang dialami Bunga hanya beberapa kasus dimasyarakat dimana si Bunga ini diberi kesempatan untuk melihat adanya permasalahan. Kalau si Bunga menyikapinya dengan bijak maka permasalahan tersebut seharusnya dapat mentrigger alarm akan adanya permasalahan yang harus diselesaikan, dan bukannya mengambil jalan pintas apalagi
reward yang sudah disediakan. Tapi, banyak realitas yang ada di masyarakat tidak berupa subset solusi dan permasalahan seperti yang dihadapi si Bunga. Dewasa ini realitas banyak menghadirkan kesempatan-kesempatan yang menggiurkan dengan alih-alih bantuan, hadiah atau cuma "kesempatan emas". Dengan harapan dan impian untuk bisa mengubah apapun yang bisa di ubah bahkan dunia sekalipun, kesempatan tersebutpun berusaha untuk diraih. Tapi, realitas juga kemudian yang harus dihadapi, ketika ada permasalahan dikemudian hari akibat buntut dari kesempatan yang diambil, dan ternyata lebih mudah menampikkan masalah tersebut karena dianggap terlalu besar untuk ditangani. Kesempatan besar diambil, timbul masalah besar kocar-kacir, solusi ajaib yang tiba-tiba muncul diambil, masalah jadi lebih besar kocar kacir lagi. Siklus realitas menjadi sangat berbahaya ketika kita bergantung pada kesempatan dan solusi cepat.
Terkadang kesempatan diambil dengan alasan daripada jatuh ke pihak yang jahat. Walaupun kesempatan tersebut memicu pelanggaran, hasilnya tetap bisa dipergunakan untuk hal yang baik, apabila kesempatan tersebut kita yang ambil. Justifikasi yang menurut gue kebablasan, karena aturan dan hukum, baik agama maupun negara itu absolut. Kalau seperti Robin Hood yang mencuri uang kemudian dibagi-bagikan ke orang banyak, apakah realitas seperti ini benar? Bagaimana pertanggung-jawaban kita ketika kitab Hollywood yang jadi pedoman? Alasan diatas adalah sebuah konsep
money laundering, dimana berapapun yang kita terima tetap hasilnya akan kembali jatuh ketangan yang jahat.
Banyak orang meyakini realitas adalah sebuah kebenaran, bahkan sebuah realitas merupakan pernyataan baik atau buruknya suatu hal, dan bukannya meyakini berdasarkan keyakinan akan jalan yang benar. Jika realitas yang didapatnya bagus dan baik untuk dirinya, maka hal inilah yang benar apapun jalan yang ditempuh untuk mencapai realitas tersebut. Mereka-merekalah yang kemudian menjawab sebuah permasalahan dengan sebuah realitas sebagai bukti pembenaran. Pada akhirnya, mereka pun bisa mendefinisikan yang benar dan yang baik dengan sebuah realitas yang dapat ditentukan sendiri, yang menyenangkan tentunya. Gue aja terkadang dengernya sampai heran sendiri ketika ada yang bilang kalau negeri barat lebih islami dari negara Islam hanya karena kehidupan mereka terlihat ideal dan makmur dengan pemerintahan yang teratur. Pernahkah terpikirkan oleh mereka kalau hal tersebut adalah sebuah realitas dari persepsi sepintas dan merendahkan umat Islam? Apa ada yang mengharapkan untuk dijajah lagi seperti dulu oleh negeri barat?
Realitas memang bisa dengan gamblang menunjukkan perbedaan antara yang ideal dan yang tidak, hasil yang baik dan yang buruk dan semua perbedaan lainnya. Akhirnya, realitas bisa dipakai untuk acuan dalam mengukur, menilai dan menghakimi seseorang. Ketika seseorang mengedepankan realitas, mereka tidak mengikuti aturan tapi mengedepankan pertimbangan mereka. Pertimbangan mengacu pada kondisi yang ideal, yang tidak timpang, kalau yang ideal adalah begini, maka kita harus ikuti untuk amannya, dan kalau ada yang membuat kondisi timpang dan tidak ideal, ditampikkan, dijelek-jelekkan dan dieliminasi saja, atau kalau perlu dipelintir terus sampai kondisi ideal, aman dan tanpa masalah bisa tercapai. Sombong bukan, ketika pengkondisian yang dilakukan dan bukannya meyakini aturan? Sederhana sebenarnya, tidak perlu repot-repot memikirkan bagaimana agar kondisi yang ideal tanpa masalah bisa terpenuhi, kan sudah ada aturan dimana harus kita yakini aturan tersebut. Makanya, setiap orang atau kaum adalah sama dimata hukum dan ajaran agama, tapi bisa berbeda di mata persepsi seorang individu. Masalahnya, sampai sejauh mana tindakan kita didasarkan pada pengukuran berdasarkan realitas ini. Kalau gue biasanya hanya hal-hal yang bersifat pribadi untuk gue saja persepsi tersebut digunakan, dimana gue memang dituntut harus hati-hati. Tapi, ga gue gunakan untuk masuk ke ranah pribadi seseorang karena gue bukan "orang pintar" alias dukun dan ga mengerti masalah pribadi seseorang, walaupun ada "orang pintar" sekalipun yang ngasih tauk gue. Jujur aja sih, dosa kalau menggunakan jasa "orang pintar" buat menerawang orang lain.
Lagian menurut pengamatan gue, kalau orang tidak mempunyai kepentingan yang cukup akan suatu hal, maka egonya akan melambung tinggi memaksakan suatu kondisi yang ideal supaya citranya bisa melambung juga, apalagi kalau hal tersebut terekspos. Tapi, ketika menghadapi hal yang menyangkut kepentingannya sendiri, rontoklah kondisi ideal tersebut. Ini politik divide and conquer yang bisa cukup berhasil, seperti gajah di pelupuk mata tidak terlihat tapi semut di seberang jalan kelihatan jelas sekali. Sangat tidak konsisten. Kalau melihat kasusnya si Bunga diatas, adalah egonya yang mendorong orang yang ditolongnya untuk menerima hal yang dia lakukan sebagai sebuah kebaikan dan hal yang positif, sehingga dia pun membangun harapan bahwa kondisi ideal akan tercapai pada orang yang ditolongnya dan bisa mendapatkan output yang positif pula. Hal ini akibat si Bunga tidak punya kepentingan langsung terhadap orang yang bersangkutan sehingga bisa menihilkan hal yang negatif, "tidak ada apa-apa" katanya. Tapi, si Bunga yang sudah terbius akan reward dan kepercayaan yang didapatnya, sudah melakukan tindakan-tindakan negatif dan melenceng, seakan-akan memang sedang ada apa-apa, karena melihatnya sebagai kepentingan dirinya untuk melakukan sebuah misi. Tidak konsisten bukan ketika tidak ada apa-apa tapi malah melakukan banyak apa-apa? Kasus si Bunga hanya sebatas konteks yang melibatkan individu, tapi di dunia nyata, konteksnya bisa saja ditarik untuk cakupan yang lebih besar lagi seperti dalam konteks suatu kelompok tertentu, negara, agama, dsb. Kalau dalam politik, biasanya kita melihat seseorang dalam sebuah kelompok tertentu memilih ketuanya bukan dari kondisi yang ideal melainkan yang paling menguntungkan untuk kelompok tersebut atau individu tersebut. Sehingga, walaupun ada kasus yang menyangkut si calon ketua, dia tetap menempel dan memilih ketua tersebut. Tapi, ketika dihadapkan kepada kepemimpinan orang-orang yang dia tidak berkepentingan, maka dieksposnyalah calon ketua yang diajukan atau kalau perlu dicari-cari kejelekannya, seakan-akan hal tersebut adalah kepentingannya. Permainan kepentingan seperti ini adalah realitas yang berkembang di masyarakat dan apabila sudah melewati batas bisa berdampak buruk.
Realitas juga banyak menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kemudian digunakan sebagai dasar asumsi dan prasangka yang menjadi alasan dalam tindak-tanduk manusia. Realitas bahwa "
no one is innocence" dijadikan asumsi awal untuk melakukan hal-hal buruk terhadap seseorang. Realitas bahwa perempuan lebih menggunakan emosinya dipakai untuk mengucilkan kemampuan perempuan ketika emosi tersebut ada dalam diri seorang perempuan.
Realitas juga bisa berwarna, ada yang hitam putih dan ada yang full color kayak pelangi (kalo di amrik, warna pelangi tuh lambangnya kaum homoseksual alias gay). Ketika seseorang menggunakan realitas maka dia akan melihat yang hitam dan putih sebagai pilihan yang valid untuk melangkah menuju kemenangan. Mereka akan berusaha memainkan langkah hitam dan putih tersebut seperti sebuah permainan catur, penuh strategi dan mampu menjatuhkan bukan hanya lawan tapi juga bidaknya sendiri. Yang tidak bermain dianggap bayi. Bagus? Adik yang top terdengar lebih baik? Nggak lah, yang ada kita malah dijadikan bidak-bidak permainan dan menguntungkan pihak yang tidak seharusnya. Yang kita lihat sebagai langkah putih ternyata adalah langkah si laskar hitam, siapa yang bayi sekarang?
Jadi bagaimana, salahkah untuk berpikir seperti alien? Apakah kita masih punya cukup waktu untuk membiarkan permainan ini merajalela?
Kalau kita memakai nalar dan pemikiran maka alien yang jauh lebih pintar bisa memperdayai kita.
Kalau kita mendewakan realitas maka alien jauh lebih mampu untuk memelintir realitas tersebut dan mengecohkan kita.
Lalu bagaimana dengan uang dan kekayaan? Sama aja, siapa tauk alien udah punya teknologi yang bisa nyetak uang sendiri...siapa tauk?