Independensi berasal dari kata independence yang artinya kemerdekaan atau tidak bergantung pada apapun atau siapapun. Ketika sesuatu tidak bergantung, berarti sesuatu tersebut tidak terhubung dengan sesuatu yg lain yang lebih dominan.
Antara pemerintah dan rakyat misalnya, dalam pemenuhan kewajiban dan haknya, independensi antara dua elemen ini harus terjaga. Artinya, hubungan antara keduanya harus mempunyai batasan yg jelas karena posisi pemerintah yg memang lebih dominan thdp rakyatnya dlm penyelanggaraan negara. Ketika rakyat berurusan dengan birokrasi didlm pemerintahan misalnya, batasan secara fisik dibuat dengan jelas, berupa loket kaca tempat rakyat mengantri atau utk cakupan yg lebih luas lagi, adanya jenjang terstruktur yg menghubungkan pemerintah dan rakyat seperti kecamatan dan kelurahan. Batasan yg jelas ini dibuat agar independensi antar dua elemen ini (rakyat dan pemerintah) bisa terjaga. Batasan seperti ini juga terjadi pada setiap intervensi antara rakyat thdp pemerintahnya dan tidak melulu fisik. Intervensi tsb hrs dijaga agar tidak ada hubungan yg dpt terjadi antara kedua elemen tersebut. Contohnya ketika rakyat memilih pemimpin yg akan memerintahnya. Kerahasiaan, kebebasan dan keumuman dari proses pemilihan dijaga, sehingga intervensi rakyat yg berupa pemilihan tersebut tdk menciptakan hubungan atau jalur antara rakyat dan pemerintah. Jalur tersebut terputus oleh kerahasiaan dan keumuman dari proses pemilihan.
Di jaman reformasi seharusnya independensi lebih terjaga krn posisi rakyat yg semakin kuat. Rakyat membutuhkan profesionalisme dlm andilnya menentukan kebijakan publik, dan profesionalisme cuma bisa terjadi apabila ada independensi antara rakyat dan pemerintahnya. Ini berarti kerahasiaan dan keumuman dlm proses yg melibatkan andil atau intervensi rakyat ke pemerintah harus terselenggara. Dlm memberikan komplain atau pengaduan yg sifatnya umum atau publikpun, hubungan tsb hrsnya diputus dengan kerahasiaan dan keumuman. Jangan sampai hanya krn teknologi, kita semua lupa utk menjaga independensi ini. Komplain melalui sms dan yg sejenisnya, atau komplain secara langsung bisa membuka peluang terbukanya hubungan yg tidak profesional antara rakyat dan pemerintah krn sms dan yg sejenisnya tdk menjaga prinsip kerahasiaan dan keumuman dr intervensi rakyat. Dulu hal ini dilakukan dg pos atau kotak pengaduan. Kerahasiaan pengirim melalui pos dan kotak pengaduan terjaga sehingga tdk dimungkinkan adanya hubungan atau kontak. Sms atau komplain secara langsung mengenai kebijakan publik pemerintah, tdk menjaga prinsip kerahasiaan ini. Bahkan kmdn bisa merusak prinsip keumuman. Gue pernah nonton acara tv seri luar negeri yg ceritanya berkisar mengenai cerita di kantor pemda mereka. Ada perempuan cantik yg komplain soal lahan kosong yg membahayakan utk warga setempat. Komplain tsb pun mendpt tanggapan dr pemda dan pada akhirnya terselenggaralah proyek taman utk lahan kosong tsb. Media massa kmdn mengapresiasi proyek tsb, begitu pula masyarakat sekitar. Yg menjadi ganjalan adlh kmdn di tv seri tersebut juga diperlihatkan bgmn hubungan yg tdk profesional terjadi antara pejabat pemda dan perempuan yg komplain tsb, shg mereka menjadi sahabat karib hanya krn si tukang komplain tsb hrs secara intens berurusan dg pemda soal kebijakan publik. Perempuan tersebut, yg juga berprofesi sbg perawat pun, akhirnya sering nongkrong di kantor pemda tsb bahkan mendpt obyekan disana. Apresiasi yg dia dpt membuat dia tdk malu lagi utk sering nempel di kantor tersebut. Dan ga hanya itu, pacar si perempuan yg pengangguran pun akhirnya dpt kerjaan di kantor pemda tersebut. Bahkan ketika keduanya putus, merekapun masing2 dapat pasangan dr kantor pemda tsb. Gue nontonnya lucu aja, soalnya memang tv seri komedi dan agak aneh bin ajaib ceritanya.
Gue ga tauk apa di Indonesia pernah terjadi yg seperti ini, hubungan personal antara rakyat dan pemerintah terjadi dg sangat intense nya akibat dibutakan oleh teknologi dan informasi, tapi kalau ya, maka ini sangat rentan terhadap penyimpangan. Ketidakprofesionalisme-an dpt dg mudah terjadi akibat adanya hubungan kontak-mengkontak antara rakyat dan pemerintahnya. Apalagi penyimpangan sistemik tsb malah mendpt apresiasi dari media dan tdk bisa tersentuh oleh lembaga pemberantas korupsi. Loh, yg pentingkan hasilnya? Hasil klo dilakukan dg cara yg ga benar dan ga sesuai malah mendorong perilaku KKN. Lubang ventilasi memang dibutuhkan, tapi kalau lubang tsb dpt menghubungkan lumbung padi dan dunia luar, sehingga tikus bisa masuk, mk lebih baik ditutup. Habis nanti stok pangan kita. Lebih buruk lagi, bisa-bisa calo proyek masuk utk mendikte dan mengintervensi kerjaan pemda. Akhirnya rakyat tertentu yg disokong kepentingan luar, bisa mengintervensi pemda dg kekuatannya. Rakyat tertentu tsb pun akhirnya bisa lbh dominan dr pemerintah dlm penyelenggaraan negara. Inilah liberalisme, sistem dituntut utk menghilangkan batasan yang ada sehingga terhubung deh rakyat dan pemerintahnya. Kemudian liberalisme ini membawa kapitalisme sehingga peran pemerintah dan rakyat dpt diplintir. Yang seharusnya pemerintah lebih dominan thdp rakyat dlm penyelenggaraan pemerintahan, ini malah rakyat tertentu bisa lebih dominan dr pemerintah akibat batasan yg hilang yg mereka manfaatkan. Diapresiasi pula oleh media yg menyangka lubang ventilasi di lumbung padi membawa angin segar, yaitu proyek baru. Lucunya, ketika gue bicara bahwa yg menghilangkan batas ini bisa menimbulkan KKN, gue malah dituduh punya pikiran "kotor" oleh, mungkin, yg membutuhkan angin segar ini. Lucu kan, seakan-akan ada manusia yg pikirannya bersih setiap saat shg kita tdk membutuhkan batasan lagi.
Seyogyanya pemerintah punya posisi yg lebih dominan dlm penyelenggaraan pemerintahan, krn jabatan yg diembankan ke mereka. Jabatan mempunyai tanggung jwb dan hrs bisa dipertanggung jawabkan. Klo sebagian dari rakyat yg secara struktural tdk terkait dg pemerintahan bisa lbh dominan dg membawa kepentingannya atau kepentingan lain, inilah yg namanya liberal. Jadi kata siapa treatment yg cenderung personal tdk liberal, justru treatment yg personal dan istimewa (personal berarti tdk profesional) akan menunjukkan sifat liberal krn menghilangkan batasan "profesional" yg ada.
Liberalisme memang dg mudah terjadi akibat tidak adanya batasan sehingga segala sesuatu bisa terhubung. Ini berarti liberalisme bisa menciptakan ketidakindependesian krn satu dan yg lain saling terhubung. Padahal, ketidakindependensian adalah ketergantungan yg adiktif yang bisa membodohkan. Bodoh? Ya, krn kita bergantung pada hal yg lain yg lebih dominan sehingga kita selalu membutuhkan pengayoman. Yg selalu diayomi adalah bodoh krn tdk memiliki kemampuan yg membuktikan dirinya independen.
tambahan: batasan yg biasanya mereka hilangkan adalah batasan fisik, sehingga hal hal yg termaterialisasi bisa langsung terhubung dg persepsi . Ini artinya mereka menciptakan ketergantungan pd hal yg termaterialisasi. Bahayanya adlh ketika yg termaterialisasi ini bukan hanya hal-hal yg fisikal tapi juga yg non fisikal seperti konsep, filosopi, idealisme, keyakinan dsb. Akan lebih mudah menerima suatu konsep atau filosopi dsb, yg termaterialisasi ketika batasan sdh tdk ada lagi, krn secara intrinsik manusia membutuhkan batasan shg pada akhirnya konsep dsbnya tersebut malah menjadi batasan baru. Yg artinya pula, orang lebih rentan thdp manipulasi ketika batasan sdh tdk ada lagi. Misalnya saja konsep bhw suatu agama adlh buruk yg kemudian termaterialisasi oleh tindak terorisme. Ketergantungan akan konsep tersebut akan menjadi dominan apabila memang batasan fisik sdh tdk ada. Karena mereka menganggap hanya konsep tsb yg bisa membatasi mereka dg eksistensi agama tsb. Contohnya lagi konsep mengenai orang jahat berasal dari ras atau ciri2 tertentu, seorang perempuan yg meyakini konsep tsb krn konsep tsb termaterialisasi oleh pengalaman dirinya, akan menggunakan konsep tsb ketika dirinya pulang malam. Tidak apa-apa pulang malam asal jauh jauh dengan tipe tipe orang dr ras atau ciri ttt. Ini sama saja dg menasehati anak gadis bahwa tdk apa-apa pacaran sampai malam asal dengan pria baik-baik(yg terlihat baik dan dpt dipercaya 100%). Ditangan liberalis hal-hal seperti ini bisa menjadi ekstrem karena mereka bisa berayun(seperti ayunan)lbh jauh lagi dan menjadi sangat judgemental. Atas stereotype ttt mereka bisa jadi sangat restrictive, sangat sensitive dan sangat concern bahkan judgemental pada hal yg sifatnya personal dan privacy. Sementara utk stereotype yg lain mereka bisa sangat bebas lepas, tdk peduli apa yg mereka lakukan baik yg sifatnya publik atau personal, semua akan terlihat baik. Stereotyping adalah produk dari subconscious mind yg terbina dlm perjalanan hidup seseorang.Ketika seseorang bingung akan pijakan dia, maka dia akan menggunakan pengalaman hidupnya sbg pijakan termasuk stereotyping.
Lewat mekanisme yg namanya liberalisme, kebodohan bisa dipupuk secara kreatif. Liberalisme tdk mempunyai dasar dan batasan yg jelas, sehingga utk negara seperti Indonesia yg punya dasar negara Pancasila dan batasan yg berupa UUD, liberalisme bisa menggerogoti dari dalam dasar negara kita.
Dengan liberalisme akan ada orang-orang yang berlindung dibalik Pancasila, tapi mereka juga tdk mau menjaga dan menghormati Pancasila. Akan ada orang-orang yg bisa secara kreatif ada di dua titik berbeda secara bersamaan. Kota-kota besar sangat rentan terhadap liberalisme karena dinamismenya bisa menciptakan kreativitas tersebut. Ketika gue googling di internet, gue pernah baca perdebatan seru soal patung, yg mempertontonkan bagian tubuh manusia yg seharusnya ditutup, yg dipajang di tempat umum. Patung tersebut akhirnya dicopot dan tdk dipertontonkan lagi, tapi yg menarik adlh komen-komen liberal yg mendukung patung tsb. Sekali lagi yg liberal ini menuduh yg mencopot patung tersebut punya pikiran "kotor" thdp patung tsb, seakan-akan dia mengasumsikan bhw setiap manusia bisa setiap saat punya pikiran yg bersih 100% shg hal-hal yg "kotor" bisa dipertontonkan tanpa takut pengaruhnya pd manusia yg melihatnya. Secara pribadi gue ga mendukung patung tersebut karena ga sesuai dengan sila 1 Pancasila. Patung sebagai sebuah karya seni yg originalitas ide dan inspirasinya adalah manusia, harusnya menghargai pencipta dari sumber inspirasinya tersebut. Dan krn republik ini berdasarkan Pancasila, maka pencipta manusia adalah Tuhan YME. Lagipula adalah common sense kalau ketika kita menjiplak atau mengkutip karya orang lain maka kita menghargai orang lain tersebut dg mencantumkan namanya. Apalagi klo kita berurusan dg penjiplakan karya Tuhan YME, sudah sepatutnya kita menghargaiNya dengan mengikuti aturanNya. Dan krn patungnya adlh patung publik, maka mayoritas hampir semua agama di masyarakat tdk memperbolehkan bagian manusia tsb dipertontonkan shg kita hrs menghargai hal tersebut.
Jadi bukan karena pikiran "kotor", tapi karena di setiap agama tidak ada yg mengasumsikan manusia bisa setiap saat 100% bersih pikirannya. Manusia bukanlah robot.
Ketika orang berpikir secara liberal, mereka cenderung menghilangkan batasan yg ada dan dengan sengaja menghubungkan segala sesuatu (termasuk melalui indra seperti penglihatan) yg tdk seharusnya terhubung (terlihat). Penghilangan batasan yg akhirnya membuat mereka tidak independen ini krn mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia bisa dipercaya sbg hal yg
super bersih. Makanya yg liberal dan tidakindependen ini bisa dg gampangnya percaya 100% ketika ada orang yg ngomong atau sesumbar "Gue anti korupsi atau gue ga suka korupsi" tanpa adanya sumpah atau legalitas lainnya. Padahal omongan atau sesumbar dr seseorang tanpa legalitas, secara rasional, tdk bisa dijadikan dasar penilaian atau dasar tindakan. Dasar penilaian yg cuma berdasarkan omongan orang tentang "kesukaan seseorang" adlh dasar penilaian yg sangat emosional, seperti orang yg lagi jatuh cinta, percaya aja apa kata pasangannya. Atau seperti ketika kita mengidolakan sesuatu krn eksistensi dia, kita kemudian percaya aja apa yg dia omongin.
Yang emosional seperti ini mudah utk dimanfaatkan atau diperdaya sehingga mereka bisa bermain sekaligus juga dipermainkan (ada di dua titik secara bersamaan). Contohnya ya seperti cerita komedi tv diatas, si perempuan cantik tsb bisa berada di dua tempat secara bersamaan, sbg rakyat dan juga sbg bagian dari pemerintah.
Ketika orang berpijak pada liberalisme, asumsi justru bisa menghilangkan batasan. Liberal berarti bisa bergerak secara dinamis sesuai dg dinamika kehidupan. Mereka lebih suka berlari dlm menghadapi kehidupan. Makanya mereka tdk suka melihat sebuah masalah, ketika ada masalah, mereka akan mencari opsi atau solusi yg tercepat dan termudah. Dinamika kehidupan pun ditangkap sebagai sebuah persepsi yang bisa dijadikan dasar oleh seseorang (sebagai common ground). Jadi, ketika seseorang tdk suka korupsi misalnya, dia tdk suka korupsi krn koruptor membuat dirinya dan orang banyak miskin dan sulit (korupsi membuat keterkaitan yg emosional pd dirinya) sesuai dg realitas kehidupan yg dia persepsikan. Akhirnya dia berasumsi bhw dirinya bersih pikirannya dr korupsi hanya krn dia membenci secara emosional korupsi yg demikian (yg membuat org miskin dan kesulitan).
Padahal korupsi adlh sebuah tindakan pelanggaran, dan asumsi yg meyakini diri kita bersih hanya bisa didpt ketika semua tindakan korupsi sdh ditindak. Ketika semua tindakan korupsi sudah ditindak dan kita tdk termasuk yg ditindak barulah kita bisa yakin bahwa diri kita bersih. Jadi bknnya diri kita bersih
hanya krn
membenci korupsi tanpa adanya bukti. Asumsi bersih yg dibuat berdasarkan persepsi emosional seperti inilah yg bisa menghilangkan batasan. So, it works like this, orang mengasumsikan bhw dirinya bersih pikirannya dari korupsi, dia kemudian bisa mereferensikan dirinya sbg dasar pijakan(=batasan) dalam bertindak memberantas korupsi. Dia mempercayai dirinya sbg salah satu perwujudan anti korupsi. Di dlm lingkungan, orang tsb kemudian memproyeksikan dirinya setiap kali dia berhadapan dg orang lain. Seperti cermin, dia melihat sosok dirinya, yg menurut dia bersih, setiap kali dia melihat orang lain. Ketika orang lain berteriak "Saya tdk suka korupsi", dan orang tsb
eksistensinya sama atau lebih dari dirinya, dia pun merefer kpd dirinya sendiri yg juga "tdk suka korupsi" shg dia meyakini orang lain tsb sbg hal yg benar sama seperti dirinya. Akhirnya batasan penilaian akan hal yg benar dan bersih adlh dirinya dan orang lain tsb yg eksis sbg hal yg anti dan benci korupsi, dan bkn krn penegakan aturan hukum yg berlaku. Dirinya dan orang lain tsb adlh substitusi dr aturan hkm yg berlaku dlm hal pemberantasan korupsi, shg selama euforia eksistensi gerakan tdk suka korupsi ini ada, mereka yakin bhw korupsi tdk akan ada (bahkan bisa menghilangkan kebutuhan utk penegakan hkm thdp koruptor). Bahkan saking yakinnya bhw diri mereka bersih, ketika ada yg mau melubangi sistem (dg membuat hubungan yg tdk berbatas dan langsung) mereka tidak mempermasalahkannya. Loh kan orang-orangnya sudah pada ga suka korupsi, so its okay utk membuka batasan dan membuat lubang-lubang yg menghubungkan entitas yg ada, begitu katanya. Disini terlihat bhw orang yg berpijak pd hal yg emosional sangat rentan thdp paham liberalisme.
Lebih jauh lagi, "tdk suka korupsi" ini berdasarkan common ground "bisa memiskinkan dan menyulitkan" dan bukan krn korupsi sbg sebuah pelanggaran hukum. Common ground (penyebab) inilah yg kmdn lebih mempersatukan mereka (krn terkait secara emosional). Merekapun terhubung melalui common ground ini, sebuah dinamika realitas kehidupan yg sama yaitu "membenci hal yg memiskinkan dan menyulitkan". Krn adanya ikatan emosional inilah, "Tdk suka korupsi" kmdn akhirnya cuma sbg jargon dan kendaraan saja, karena dinamika hidup yg sama -lah yg lebih punya andil dan menghubungkan mereka, serta keyakinan pada diri mereka bhw diri mereka adlh benar (krn sama-sama "tdk suka" korupsi dan bkn krn sama-sama berusaha menjunjung tinggi penegakkan hukum). Common ground akibat realitas kehidupan seperti inilah yg kmdn memunculkan orang-orang yg bisa ada di dua titik secara bersamaan (tdk suka korupsi tapi terkadang bisa menjadi fasilitator terciptanya korupsi). Ketika ada orang yg "suka korupsi" merekapun menghakimi orang tsb dg aturan yg longgar, krn dinamika kehidupan (common ground) memberikan kelonggaran tsb. Dimana cuma orang tertentu aja yg ditindak krn korupsi, tapi sebagian lagi lepas bebas krn korupsi tersebut "tdk memiskinkan dan mempersulit" mereka. Ketika dinamika kehidupan menuntut mereka menerabas batasan yg ada bhkn melakukan pelanggaran, persepsi mereka masih meyakini bhw mereka benar, shg mereka malah terjerat lebih jauh lagi dlm menciptakan dinamika dan persepsi yg membenarkan diri mereka (dg menghilangkan batasan tentunya).
Ketergantungan pada dinamika dan persepsi yg membenarkan diri mereka seperti inilah (yg cuma bener secara emosional doang, bhw mereka benci hal yg dilarang dan suka hal yg baik) yang menciptakan ketidakindependensian.
Suka dan tidak suka adalah sebuah ekspresi emosional saja dan bukan sebuah keputusan hidup yg bisa ditindaklanjuti. Suka dan tidak suka terkadang cuma hal yg spontan yg tdk membutuhkan sebuah proses seperti yg terjadi pd proses mengambil keputusan. Suka dan tidak suka bknlah hal yg penting, bukan hal yg bisa diyakini, krn gampang sekali berubahnya (gue sbg perempuan mengerti banget soal beginian, perempuan secara kodrat tdk punya kewajiban memanggul tanggung jwb keluarga seperti yg terjadi pd kaum lelaki, sehingga yg namanya keseriusan dlm pengambilan keputusan dan aksi/tindakan biasanya ditunggu sampai segala sesuatunya jelas. Makanya yg namanya cewek tuh terkadang banyak kesenangannya, suka ini suka itu tanpa hrs terbebani, mereka tdk beraksi yang serius menghadapi hal yg suka-suka ini, tapi sebenarnya mereka ngerti kapan hrs serius dan bertindak, yaitu ketika segala sesuatu sdh jelas. Mungkin ada juga perempuan yg hrs selalu serius all the time shg hal yg ga jelas pun harus diperjelas dan dihadapi, mau aja disuruh melakukan sesuatu utk hal-hal yg ga jelas, tapi biasanya hal tsb krn keterpaksaan akibat sesuatu hal atau ada yg salah dg figur seorang bapak/suami dikeluarganya...heh jadi ngelantur deh, tapi ini penting, soalnya banyak perempuan yg senseless kayak gini dipakai dan dimanipulasi utk "menyerang" perempuan yg sense kodratinya msh ada. Mereka berpikir secara terbalik dan sdh termanipulasi.
Menurut mereka yg suka-suka adlh hal yg serius dan membutuhkan proses, sedangkan tindakan/aksi serta pengambilan keputusan adalah hal yg bisa dilakukan ketika ada orang lain yg "menyuruhnya". Yg dimanipulasi ini sebenarnya juga adlh korban, korban negligance shg dia jadi sangat independen thdp keluarganya, walaupun kmdn dia tetap saja membutuhkan sosok yg bisa dia percayai shg dia cari sosok tersebut ke luar. Sosok yg dia percayai tsb dia anggap sbg sponsor utk dirinya,
shg semua tindakan dan pengambilan keputusan dilakukan sesuai perintah sponsor tsb, yg artinya tindakan dan pengambilan keputusan adalah hal yg tanpa proses dan tdk jelas krn berasal dr sosok sponsor yg ga jelas dan tdk diakui. Mereka pun dipakai dan dimanipulasi utk "ngerjain dan menjahili" perempuan lain dg melakukan aksi utk hal yg ga jelas, seperti hal suka dan tidak suka, shg hal yg ga jelas tsb menjadi penting krn menjadi masalah baru utk perempuan lain tsb. Untuk mereka, tindakan dan aksi "ngerjain dan menjahili" tsb adalah tindakan pembenaran/counteract atas kebutuhan mereka akan sosok sponsor tsb. Ketidakseriusan mereka dalam pengambilan keputusan atas aksi/tindakan (yg mengandalkan sponsor) dicounteract dg menganggap hal yg emosional (suka dan tdk suka) sbg hal yg serius. Gue mungkin akan cerita lebih lanjut mengenai ini diposting yg lain). Banyak orang, yg cenderung emosional, yg meyakini bahwa suka dan tidak suka adlh sebuah keputusan yg sdh jelas juntrungannya shg bisa ditindaklanjuti dg aksi. Aksi yg berdasarkan hal yg indecisive seperti ini akan menciptakan kebingungan dan masalah baru, aksi yg tdk bisa dipertanggung jawabkan karena implikasinya thdp seorang individu adlh individu tsb akan bisa membuka batasan yg ada dg keseriusannya atas hal suka dan tidak suka tsb. Kalau pakai cerita di mall seperti pada artikel yg gue posting sblmnya, maka ketika seseorang "suka" akan suatu barang di mall maka dia akan berani melakukan aksi apapun yg serius utk mendapatkan barang tsb hanya krn dia berpikir bhw sebagai pengunjung mall dia mempunyai hak utk bisa membeli barang tsb( dia berasumsi bhw pemenuhan kebutuhan 100% bisa terpenuhi). Atau ketika ada orang lain menyukai atau tidak menyukai suatu barang di mall, maka dia bisa melakukan aksi yg serius untuk mempengaruhi orang lain tsb agar orang lain tersebut membeli atau tdk membeli barang tsb atau sekedar mengubah preferensi orang lain tsb hanya krn dia merasa dia punya kewajiban utk "meluruskan" orang lain tsb (dia berasumsi bahwa orang lain bisa 100% lurus). Disini terlihat bhw manipulasi yg terjadi memfokuskan pd hak yg menyangkut dirinya dan kewajiban yg menyangkut orang lain dan asumsi keidealan yg 100%.
Ketidakindependensian mengurangi kebutuhan kita untuk memiliki kemampuan yg produktif. Ketika seseorang tidak independen, tanpa kemampuan yg cukup pun orang tsb bisa terlihat "produktif" krn kemampuan yg cukup tsb sudah terbagi-bagi secara modular pada setiap orang yg terkoneksi. Setiap orang hanya bisa melakukan satu modul kemampuan saja, shg produktivitas dia sangat bergantung pada modul yg lainnya. Produktif yg seperti ini terlihat seperti fatamorgana, kayaknya hasil kemajuannya ada didpn mata padahal kenyatannya kemampuan minim atau ga ada. So, kemampuan secara utuh sebenarnya sdh tdk ada lagi ketika seseorang tdk independen. But thats fine right? As long as everyone is happy. Modular tdk sama dg spesialisasi, krn
spesialisasi biasanya bisa memenuhi satu kebutuhan secara utuh sdgkn modular tdk. Ketika kemudian yg modular ini bisa terselenggara dlm satu tempat maka semuanya baik-baik saja, tapi ketika ada salah satunya hilang (missing link) mk segala sesuatunya bisa berhenti berjalan.
Dari ketidakindependensian akibat liberalisme terlihat hal yg bertolak blkg. Bgmn yg saling bergantung dan terkoneksi satu sama lain (membentuk kesatuan) justru malah terpecah didalamnya (menjadi modular). Bgmn yg disebut produktif justru malah menghancurkan produktivitas itu sendiri dr dalam krn kemampuan yg tdk utuh. Ketika yg seperti ini dihadapi secara emosional, maka yg tidak indepeden ini akan selalu bergantung pada realitas dan dinamika yg memberikan pembenaran(perasaan benar) atas ketidakindependensian tersebut, yaitu realitas yg tampak diluar saja. Ketika yg ditampilkan hanya yg tampak diluar saja maka sdh terjadi pembodohan. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bhw liberalisme bergerak secara beriringan dg pembodohan.
Pembodohan yg terjadi ketika kemampuan secara utuh tdk ada kmdn menciptakan kompetisi yg tidak sehat. Pembodohan yg seperti ini menghasilkan orang-orang yg emosional yg
selalu membutuhkan orang lain untuk "diambil" manfaatnya atau utk dimanfaatkan dan mengeliminasi orang lain yg tdk bermanfaat. Jadi sebenarnya yg tidak independen ini, mereka selalu butuh berurusan dg orang lain dimana dlm berurusan tsb "otak kriminal" mereka diasah bahkan tanpa mereka sadari. Mereka tdk menyadari bhw usaha yg selama ini mereka lakukan secara tdk profesional (secara personal), kmdn menggerogoti kemampuan mereka dan juga hak mereka.
Ketidakprofesionalan akibat dualitas mereka (ketika mereka berada pada dua titik secara bersamaan) membingungkan persepsi mereka akan apa yg menjadi hak mereka ketika hak tsb sebenarnya adalah sebuah konsep yg berlaku hanya ketika seseorang independen thdp yg lainnya. Dan karena aset kita adlh salah satu hak kita, maka ketika kita tdk independen, kemampuan mengelola dan mengolah aset akan terbengkalai. Apalagi ketika aset kemudian diproyeksikan dan ditransform sebagai sebuah liabilites(kewajiban) shg menjadi beban tanggungan yg besar, maka akan semakin sulit utk mengelolanya bahkan lupa utk mengelolanya krn sibuk berkejaran dg pemenuhan liabilities tsb. SDM misalnya ditransform menjadi entitas yg hrs menghasilkan upah yg tinggi, aset tanah dan bangunan ditransform menjadi objek pajak yg tinggi, aset bergerak ditransform menjadi objek pinjaman yg hrs dibayar secara regular, negara ditransform menjadi entitas yg tergantung pada utang dan inflasi.
Satu hal lagi mengenai ketidakindependensian: akibat pergerakan yg tdk mempunyai batasan, mereka menjadi lebih aktif dan fleksibel. Keaktifan mereka membuat mereka menjadi pemain. Para pemain yg terbentuk akibat ketidakindependensian ini terhubung dengan entitas yg lebih dominan dengan berbagai jaminan (jaminan adlh suatu mekanisme yg mengikat satu entitas dg entitas lainnya atas suatu hal yg digadaikan yg bisa terkuantifikasi). Akibat dari jaminan yg diberikan kepada para pemain ini, maka kmdn mereka akan menjadi sangat positif. Mereka percaya bhw jaminan tsb membuat mereka akan selalu tercover (tdk merugi). Kepositifan ini membuat mereka semakin aktif lagi. Mereka pun akhirnya bisa bermain thdp entitas lain diluar dirinya. Bermain dg menjaminkan(mengkuantifikasi) entitas lain selain dirinya, sehingga membuat entitas lain tsb "terjaminkan"(baca:tergadaikan dan terkuantifikasi). Penjaminan selalu mencakup rentang waktu kedepan (masa depan). So basically, para pemain ini sdh menggadaikan keyakinan mereka ketika "Demi masa" mereka percayakan pada entitas lain, entitas yg memberikan mereka jaminan dan yg membuat mereka menjadi orang-orang yg "tdk merugi".
__________
tambahan: Mengenai perempuan yg sdh gue bahas diatas, gue ingin menambahkan sedikit lagi. Nilai tambah seorang perempuan dibanding laki-laki dalam berkehidupan bermasyarakat yg selama ini diyakini masyarakat adlh naluri keibuan mereka yg menghindari sesuatu yg remang-remang dan ga jelas. Hal ini juga didukung dg kenyataan bhw laki2 secara fisik lebih perkasa dibanding perempuan, selain juga laki2 lebih memakai nalar sdgkn perempuan memakai naluri. Makanya masyarakat menganggap perempuan bisa dipercaya dan tdk macam-macam ketika mengemban tugas. Ketika nilai tambah ini hilang (naluri keibuan utk menghindari hal yg ga jelas hilang meninggalkan naluri yg lainnya), padahal kenyataannya perempuan msh kalah secara fisik dan naluri lebih digunakan drpd nalar (bkn krn nalar mereka kurang dibanding laki2, tp krn mereka lebih
prefer thdp naluri), kekurangan ini bisa terisi oleh pihak-pihak luar yg ingin memanfaatkan perempuan dg penjaminan yg mereka berikan. Jadi jangan heran klo kmdn perempuan bisa membawa masuk pihak-pihak tdk berkepentingan kedalam ruang keberadaan mereka.
Tambahan lagi, ketika seseorang bisa berada di dua titik sekaligus, suatu paradoks terjadi lagi. Berada di dua titik sekaligus membuat mereka merasa "tauk" segala hal di dua titik tersebut, shg seakan-akan mereka lebih "conscious" akan segala hal diluar dirinya, tapi krn berada di dua titik menyalahi konsep consciousness didalam dirinya sendiri, orang tsb tidak akan cukup "conscious" utk menguasai dirinya sendiri.
Tingkat kesadaran akan dirinya hilang berganti dg kesadaran akan segala eksistensi diluar dirinya. Dari sini, hal-hal yg hidup termaterialisasi. Sebenarnya mengetahui sesuatu hal tanpa berada di titik tsb dimungkinkan melalui observasi dan analisa yg tajam, jadi tdk perlu dg berada di dua titik sekaligus.
Paradoks yg sama terjadi pula ketika seseorang terikat pada penjaminan masa depannya. Keterikatan dia pada entitas yg melebihi dirinya membuat dia mempunyai kendali lebih atas segala sesuatu hal diluar dirinya, tapi bersamaan dg hal tsb dia pun hrs menenggelamkan dirinya dibawah bayang-bayang kekuasaan entitas yg melibihi dirinya tsb. Ini berarti dia kehilangan kendali atas dirinya demi mendapatkan kendali atas hal yg lain.