My Facebook

not shown

Jumat, 27 Mei 2011

Film Animasi Bukan Cuma Untuk Anak

Pada film animasi, ga ada yang terlalu artificial untuk menjadi lebih hidup. Gambar-gambar 2D dan 3D yang identikal dan berurutan membentuk ilusi akan sesuatu yang nyata dan hidup padahal tidak. Ilusi tersebut kemudian yang membawa kita sedih dan gembira sesuai kehendak sang sutradara. Makanya, film-film animasi digemari bukan hanya oleh anak kecil saja tapi juga orang dewasa. Baik itu yang dari Jepang seperti Naruto atau dari Hollywood seperti Despicable Me. Mulai dari animasi serial sampai animasi layar lebar.

Permainan ilusi melihat apa yang kita lihat dan mendengar apa yang kita dengar sebenarnya merupakan hasil akhir dari sebuah industri yang serius, penuh dengan kreativitas dan deadline. Ketika kita melihat Mickey Mouse berdiri di sebuah podium menggunakan topi dan mengayunkan tongkat ajaibnya, sebenarnya ada orang-orang sungguhan yang bekerja siang dan malam untuk membuatnya menjadi demikian. Mereka adalah orang-orang dibelakang layar, sebuah industri animasi dimana mereka sangat tergantung pada popularitas karakter yang mereka bangun untuk menyenangkan kalian. Oleh karenanya, semua image dan alur cerita dibuat dengan tidak sembarangan, pengisian suara pun harus sesuai script yang ditentukan karena kalau tidak synchron akan ketahuan bohongnya nanti. Bahkan suara sebuah karakter harus sesuai dengan stereotype karakter yang direpresentasikan. Akan jelek dilihat para pemirsa ketika cerita mengenai seorang putri disuarakan oleh seorang laki-laki bersuara parau. Bahkan setiap nama-nama, baik karakter utama atau karakter yang mengelilinginya secara khusus dipilih sehingga dapat benar-benar merepresentasikan keinginan sang sutradara.

Tidak heran kalau industri yang serius ini juga terkadang membicarakan hal yang serius pula. Seperti misalnya Avatar atau Naruto. Film serial ini selain berisi petualangan menarik juga mengetengahkan pemikiran-pemikiran dan filosofi yang cukup berat bahkan berbahaya kalau untuk diterima seorang anak kecil. Ada hal seperti karma (bahwa sesuatu yang buruk yang terjadi pada seseorang adalah akibat dan hasil dari perbuatan orang tersebut), meditasi, chakra, aura dan hal spiritualisme lainnya yang merupakan ajaran alternatif diluar ajaran agama Islam dan Kristen. Mungkin hal inilah yang menyebabkan animasi sekarang banyak ditonton oleh orang dewasa, karena mempersembahkan kompleksitas pemikiran-pemikiran dan bahkan pembangkitan spiritualisme yang biasanya dibatasi dan dikungkung oleh ajaran agama. Tanpa ajaran agama dunia memang tidak berbatas, seperti juga ketidakberbatasan artifisial dalam animasi.

Kalau mau contoh lain dari animasi yang ga sesuai untuk anak, coba deh tonton animasi shinchan berikut ini, dari judulnya aja harusnya kita sudah mulai berpikir apakah animasi ini cocok untuk anak-anak. Kita kan ga mau kalau anak-anak tiba-tiba menyalahgunakan kekuasaan dan menyebabkan kerugian dikemudian hari, apalagi kalau sudah sampai memilih ideologi...bisa-bisa kekiri-kirian dan kekanan-kananan dan senggol-senggolan dan jadi politikus taman kanak-kanak gawat juga. Politik abusing power dan opresif ga seharusnya diajarkan ke anak kecil (ada loh ortu yang melihat kalau hal ini perlu diajarkan dengan membiarkan bahkan menyuruh anak-anak mereka meneror dan bertingkah jail kepada yang lain supaya mereka punya insting mencari kekuasaan). Sebagai anak-anak mereka sendirilah nantinya yang akan jadi korban atas mirage berupa kekuasaan yang sebenarnya tidak atau belum mereka punyai. Mereka pun terpaksa menghadapi konsekuensi yang dihasilkan dari  penyalahgunaan kekuasaan dan sikap opresif tersebut atau bahkan memaksa dirinya untuk mendapatkan kekuasaan yang tidak dimilikinya yang akan menempatkan dirinya dan orang lain dalam bahaya. Coba lihat wajah anak-anak ini ketika terompet berbunyi...mengerikan...

   


Kate Miller-Heidke "Are You Ready?" from Jeremy on Vimeo.



Karena menyinggung masalah Nazi, sekalian aja gue mau ngomongin sedikit off the topic. Bukan tidak mungkin sejarah pembantaian manusia dapat terulang, hanya saja mungkin motif, pelaku dan korbannya berbeda sama sekali. Makanya, penting untuk tidak memberikan kesempatan dalam menimpakan suatu kesalahan atau mengidentikkan sesuatu secara buta yang bersinggungan dengan SARA apalagi membiarkan sesuatu yang opresif. Ketika yang opresif mendapat lampu hijau, yaitu ketika yang akan dijadikan korban secara pandangan umum ditempatkan sebagai pelaku kejahatan dan si korban menerima hal tersebut karena simbiosis yang terjadi dengan latar belakang SARA tersebut dianggap masih menguntungkan, maka ketika si opresif ini cukup kuat untuk mengambil tindakan, si opresif dapat saja melakukan apa saja yang dikehendakinya dengan menyetir kepentingan umum. Bahkan salah satu cara yang dilakukan Nazi dalam melancarkan agendanya adalah dengan menggunakan media untuk mass distraction sehingga masa menjadi emosional dan gampang tersulut. Seperti shock therapy yang mengakibatkan masa menjadi short minded dan kehilangan objektivitasnya. (Bayangkan saja kalau hal ini dilakukan ketika ajaran agama tidak ada). Di zaman Nazi dulu, orang Yahudi sebenarnya sudah kuat secara finansial dan merekalah yang memutar roda perekonomian. Tapi uang bukanlah kekuasaan, lagipula, ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Dan nampaknya orang Yahudi di masa tersebut terlambat untuk menyadarinya dan harus menghadapi kekejaman tentara SS yang mengelabui mereka untuk bersih-bersih didalam ruangan m,andi yang sebenarnya adalah ruangan gas mematikan. (Topik ini juga membuat gue ingin tahu lebih banyak mengenai PKI dan wikipedia jadi sumber awal yang cukup lengkap mengenai partai yang sudah dinyatakan terlarang ini).

Jadi, jangan anggap enteng perilaku opresif pada anak-anak, baik ketika mereka menjadi pelaku ataupun korbannya. Sejarah membuktikan bahwa baik pelaku ataupun korbannya pada akhirnya akan menuai konsekuensi berat atas perilaku opresif tersebut.

Balik ke industri animasi, pada akhirnya, industri besar tersebut ternyata bisa menyedot banyak perhatian dan mengeruk keuntungan yang besar, seperti Disney misalnya. Mickey Mouse pun sampai punya fans club sendiri, bahkan punya playground yang mendunia. Seiring perkembangan teknologi, imajinasi sutradara dalam menciptakan cerita apapun dan karakter apapun yang makin hidup juga semakin menjadi kenyataan. Apakah kemudian yang artificial akan menggantikan yang asli? Kita tunggu saja, to infinity and beyond...

0 comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites Gmail More