Pernah dengarkan cerita-cerita hikayat rakyat yang berbentuk legenda dan mitos? Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa punya banyak sekali cerita hikayat, soalnya masing-masing daerah punya cerita sendiri-sendiri.
Ada banyak sekali aliran keyakinan dan sekte di dunia, dan beberapa diantaranya yang menggemparkan dunia dibahas di blog ini. Tulisan terdiri dari tiga bagian, bagian pertama dan kedua membahas aliran sesat yang berujung maut. Tulisan ketiga membahas aliran yang dianggap sesat dan sedang berkembang dewasa ini.
Terkadang kita menemukan dua hal yang persis sama pada suatu kesempatan, baik itu nama, wajah, tanggal lahir dll. Akhir-akhir ini gue menemukan beberapa hal yang kebetulan menyamai diri gue yang gue bahas disini.
Ketika kita sedang disibukkan dengan masalah korupsi dan krisis yang terjadi, kita tidak sadar bahwa ada yang lebih berbahaya dari korupsi yang biasanya memanfaatkan kondisi krisis, yaitu peluang dan kesempatan yang menyesatkan. Kita terbiasa melihat bagaimana kekuasaan berubah menjadi mesin pencetak uang atau kekayaan, tapi kita jarang mengekspos yang sebaliknya yaitu bagaimana uang dan kekayaan diubah menjadi kekuasaan. Seseorang dengan jabatan (pemegang kuasa) tapi menginginkan kekayaan dapat melakukan penyimpangan dengan melakukan korupsi untuk mendapat uang yang tidak terbatas, tetapi orang yang tidak mempunyai jabatan dan kekuasaan tidak dapat melakukannya walaupun dia mempunyai uang yang berlimpah. Lalu bagaimana yang memiliki uang dan kekayaan ini mengubah uang dan kekayaan tersebut menjadi kekuasaan yang menyimpang? Ya dengan peluang dan kesempatan yang aktivitasnya tidak terbatas pada bisnis semata melainkan merambah pada mencari bentuk kekuasaan yang tidak terbatas. Yang tidak terbatas biasanya mengarah pada penguasaan atas kebebasan individu atau kedaulatan suatu wilayah. Peluang dan kesempatan seperti ini bisa terdeteksi ketika mereka masuk ke wilayah personal individu atau masuk ke aspek keamanan suatu wilayah tertentu. Ketika mereka masuk ke wilayah personal individu, misalnya mengatur keseharian seseorang dan mengatur preferensi seseorang, maka sebenarnya sudah ada penyimpangan. Sayangnya banyak yang melihat hal ini sebagai sebuah proses timbal balik semata yang menguntungkan kedua belah pihak. Bahkan banyak pula yang merasa tercerahkan karena dampak positif yang dirasakan akibat pengaturan keseharian dan preferensi mereka, setidaknya mereka merasa lebih baik dari sebelum mereka tercerahkan. Mereka pun menganggap orang yang memberi peluang dan kesempatan pada mereka sebagai pelindung karena berhasil mengisi kekosongan mereka yang gelisah akan ketidakpastian dimasa krisis. Kekuasaan seperti ini kemudian akan sangat manipulatif dan menjadi kekuasaan yang absolut. Kekuasaan dimana aktivitas yang negatif pun akan berdampak positif karena termanipulasi. Kekuasaan dimana batasan-batasan timbul tenggelam akibat besarnya kekuasaan yang melindungi dirinya. Sebagai contoh, ketika seseorang menerima sebuah peluang usaha bisnis, dia dibina sampai pada batas pengaturan akan rutinitas kesehariannya,yang sebenarnya tidak krusial atas bisnis usaha yang dijalankan, untuk tujuan memaksimalkan dirinya, seperti misalnya bagaimana dan dimana dia harus makan, apa yang harus dilakukan sebelum tidur, bagaimana dan kapan dia harus menggosok gigi setiap harinya, dll. Dia merasa dirinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Ketika dia melihat orang lain yang tidak menjalankan rutinitas tersebut, seperti misalnya rutinitas langsung menggosok gigi setelah makan, dia merasa orang lain tersebut tidak tercerahkan seperti dirinya, merasa bahwa orang tersebut lebih rendah dari dirinya yang sudah dimaksimalkan kesehariannya. Akibatnya dia pun merasa ada yang perlu dirubah untuk menjadi maksimal. Disini orang yang merasa tercerahkan tersebut dapat saja memandang kehidupan keseharian orang lain adalah hal yang tidak berarti jika belum tercerahkan. Dia pun bisa saja kemudian melecehkan orang yang sedang menjalankan aktivitas kesehariannya, misalnya dengan ejekan, sindiran atau perbuatan yang melanggar privasi seseorang atau bahkan masuk kedalam kehidupan pribadi orang lain hanya untuk pembenahan rutinitas keseharian orang lain tersebut. Dia berpikir kalau dirinya mau untuk dimaksimalkan berarti oranglain juga harus mau untuk dimaksimalkan. Hal ini juga terjadi pada aliran sesat. Pada aliran sesat bukan kehidupan keseharian yang dibina melainkan keyakinan dan ibadahnya dibina dan dituntun sehingga dia merasa keyakinan dirinya lebih superior dibandingkan yang lain. Dengan keyakinan yang super inilah dia bisa masuk ke kehidupan orang lain dan mengajarkan hal-hal yang dia rasa benar tapi terkadang bertentangan dengan ajaran agamanya. Makanya terkadang orang-orang yang dibina dengan cara demikian bisa diarahkan untuk mengganggu atau bahkan merusak aktivitas keseharian orang lain. Merekapun melanggar batasan yang ada dengan aktivitas mereka untuk menimbulkan dampak yang mereka anggap positif.
Peluang dan kesempatan dengan kekuasaan tidak terbatas ini dapat menimbulkan ketergantungan karena adanya perlindungan akan kehidupan mereka yang tercerahkan, yang artinya pula jika tidak ada peluang dan kesempatan yang seperti ini maka kehidupan mereka terancam. Akibatnya mereka melihat ada simbiosis antara eksistensi pelindung/sponsor mereka dengan kehidupan mereka sehingga timbal balik yang mereka berikan adalah juga perlindungan akan eksistensi dari sponsor atau pelindung mereka. Inilah yang terkadang berbahaya karena aktivitas masa bisa terbentuk untuk melindungi sponsor/pelindung mereka dan aktivitas ini yang terkadang berubah menjadi hal-hal yang sifatnya merusak.
Sebenarnya kalau mau dianalisa lebih jauh, dampak negatif dari peluang dan kesempatan bisa menjadi besar ketika peluang dan kesempatan ini sifatnya berupa bantuan agar kita bisa melebihi dari apa yang sudah ada pada diri kita sekarang. Peluang dan kesempatan yang berupa bantuan seperti ini sifatnya instan, karena merupakan cara cepat untuk mendapatkan sesuatu yang melampaui keterbatasan kemampuan yang kita miliki. Biasanya hal ini disebabkan karena kita merasa diri kita mampu melakukan hal yang lebih tapi terkendala oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Kita merasa gelisah dan tidak nyaman dengan kondisi kita. Ekspektasi kita akan diri kita jauh lebih tinggi dari keterbatasan kita. Ekspektasi yang besar terhadap diri kita ini bisa ditimbulkan oleh adanya impian yang ideal atau merasa tidak adanya keadilan. Ketimpangan antara impian dan kenyataan tersebut kemudian membuat kita merasa kita berhak mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang sudah dimiliki, sehingga kita pun menerima tawaran yang akan mengubah kondisi yang terbatas tersebut. Masalahnya, terkadang yang instan membuat kita terlena dan lupa akan jati diri kita karena kita kemudian melakukan lompatan kemajuan tanpa harus bersusah payah mengelola kemampuan kita yang terbatas tersebut. Kitapun menjadi egois dan sombong akibat cara yang instan tersebut. Kita bukannya berjuang untuk kehidupan tapi malah sibuk kongkalingkong supaya mendapat peluang dan kesempatan yang instan ini. Kita pun tidak bisa melihat permasalahan yang sesungguhnya dengan adanya pelindung dan malah menggunakan alasan pribadi kita. Banyak alasan yang kemudian bisa dilontarkan akibat termakan bujuk rayu si pemberi peluang instan ini, mulai dari alasan bahwa kita orang baik yang nggak korup sehingga sebagai orang baik kita pasti bisa memanfaatkan peluang yang diberikan dengan baik. Atau bukan orang baik tapi pintar atau hebat atau canggih, genius, cakep...dll. Yang bagus...bagus lah alasannya. Tapi bagusnya lagi, yang terjebak dengan kondisi pendewasaan berfeedback negatif akan mengejek orang, yang ga mau menerima pelindung yang seperti ini, sebagai bayi yang tidak mengerti bagaimana dunia berputar (pengalaman dan persepsi dia sebenarnya tidak tepat dan tidak cukup untuk menggambarkan perputaran dunia, ada pengetahuan yang mendasar yang harusnya dipergunakan sehingga persepsi dan pengalaman dia tidak membuat dirinya menjadi liberated). Ada pula yang diyakinkan menggunakan contoh keberhasilan orang lain yang sudah lebih dulu berhasil menggunakan peluang dan kesempatan instan tersebut. Atau yang sebenarnya mengerti bahayanya tancap gas seperti ini menganggap bahwa konsekuensi akibat tindakan mereka akan terjadi jauh dimasa datang, setidaknya bukan mereka yang nanti akan terkena imbasnya. Sebagian lagi mempunyai alasan klasik "mengikuti arus". Sebagian lagi malah harus diancam dan dikecewakan demi membangun alasan pribadi tersebut.Masalahnya yang instan itu membuat segala sesuatu dimainkan secara fast forward, yang berarti jangan berharap terlalu lama untuk sampai di the end of line. Lagipula resiko peluang instan tergantung juga pada bagaimana kekuasaan tersebut terakumulasi, seberapa besar dan apa yang kemudian terjelantahkan dari kekuasaan tersebut. Kalau semua mengangkat tangan diatas dan menyerahkan risk management tersebut kepada yang punya kuasa (yang memberi peluang instan) maka malapetaka yang datang di the end of line tersebut.
Sewajarnya, untuk setiap penawaran akan peluang dan kesempatan, semakin besar gain yang ingin kita dapatkan maka semakin besar resiko yang harus kita terima. Tapi lain halnya untuk peluang dan kesempatan yang instan, semakin besar gain yang ingin didapatkan, semakin besar resiko yang harus orang lain terima. Makanya orang dengan bantuan instan, buta akan yang namanya resiko. Ini akibat cara instan yang memang tidak melibatkan dirinya secara langsung dengan pergumulan untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka akan terlihat putih bersih tanpa noda sampai pada akhirnya si pelindung mereka memutuskan untuk membuka kebobrokan mereka (biasanya ketika mereka sudah tidak sejalan dengan kemauan pelindungnya yang mungkin saja mengarah pada hal yang membahayakan). Bandingkan dengan orang-orang yang tanpa pelindung ketika sistem yang menaungi mereka bocor dimana-mana, mereka akan terlihat sangat kotor dalam pergumulan tersebut sehingga mudah untuk dicari kesalahannya. Merekalah yang paling besar menerima resiko tersebut. Cara instan berarti ada resiko yang dihilangkan atau dipermudah, padahal cara instan berarti pula resiko yang semakin besar. Lalu kemana larinya resiko tersebut karena yang namanya resiko tidak bisa hilang begitu saja. Pada cara instan, resiko tersebut tidak lari tapi tertunda atau pindah ke orang lain karena yang namanya instan sifat alamiahnya merugikan orang lain. Pada aliran sesat resiko dari peluang dan kesempatan yang hilang ini diklaim sebagai act of God. Mereka meyakini perantara mereka sehingga melemahkan keyakinan mereka pada Tuhan mereka.
Dengan menerima peluang yang instan sebenarnya hal tersebut menunjukkan bahwa diri kita ada pada dua titik ekstrem yang berbeda, yang satu adalah bahwa kita sangat optimis diri kita mampu dan bisa menerima hal yang lebih, dan yang satu lagi adalah bahwa kita pesimis sehingga diri kita harus membutuhkan bantuan sponsor. Untuk kenyamanan dan kedamaian diri kita maka dua titik ekstrem ini harus bertemu (berdamai), makanya ketika seseorang merasa dirinya adalah pusat/sentral dari segalanya(egois) dia akan berusaha mencari titik temu tersebut yaitu menerima tawaran untuk mendapatkan yang lebih. Kita merasa menjadi diri kita sendiri dengan jalan tidak menjadi diri kita sendiri (dengan bantuan sponsor yang diterima). Disini terlihat hipocrisy akibat dari dualitas titik ekstrem tersebut. Hal seperti ini sangat mudah ditimbulkan dari pendewasaan berfeedback negatif yang sudah gue bahas sebelumnya. Hipocrisy ini juga akan diperparah ketika satu titik ekstrem yang dianggap positif yaitu optimisme diekspos keluar sementara titik ekstrem yang lain yaitu pesimisme disembunyikan. Yaitu ketika lompatan kemajuan berusaha diekspos tapi unsur bantuannya yang bisa membuat diri kita tampak lemah disembunyikan, dan inilah yang kemudian membuat diri kita menjadi defensif. Kalau sudah defensif seperti ini maka segala cara bisa dilakukan untuk melindungi hal yang tidak terekspos. (Perilaku akan berbeda ketika kita hanya pada satu titik ekstrem tertentu misalnya optimis. Ketika kita hanya optimis maka kita akan sibuk mengelola dan mengolah apa yang sudah dimiliki. Psikologi memang dapat digunakan untuk memanipulasi seseorang. Makanya ga usah kita mikir psikologi kita, optimis atau tidak, kalau kita menggunakan keyakinan agama kita tentunya kita tidak akan membutuhkan kuasa lain untuk menjadi pelindung atau bantuan cepat seperti ini, apalagi tertarik dengan hal yang ideal yang mereka tawarkan. Peluang dan kesempatan instan seperti ini menandakan kita membutuhkan kuasa lain sebagai penentu kehidupan kita selain kuasa dari Yang Diatas).
Kerusakan bisa kemudian timbul akibat hipocrisy ini. Ketika kemudian peluang yang berupa bantuan instan tersebut hilang maka akan sulit untuk mempertahankan kondisi yang sama karena ketidakmampuan mengelola dan mengolah apa yang dimiliki. Akhirnya demi mempertahankan kondisi maksimal tersebut merekapun menghalalkan segala cara yang dapat menimbulkan pengrusakan. Merekapun mencari titik temu dengan berdamai lebih jauh lagi pada tindakan kriminal dan merusak. Titik berdamai inilah yang kemudian membutuhkan pengorbanan-pengorbanan yang sifatnya merusak dan apabila bantuan tersebut bersifat masiv maka pengrusakan massal dapat terjadi. Hal ini klasik sebenarnya, massa yang kaget menerima kenyataan bahwa kondisi mereka jatuh, akan berbuat anarki karena pada dasarnya mereka tidak tauk harus berbuat apa untuk menahan posisi mereka. Vulnerabilitas yang muncul akibat hilangnya bantuan dan dukungan kemudian ditutupi dengan menggunakan atau mengorbankan masa pengikutnya. Peluang dan kesempatan yang instan memang seringkali mengumpulkan masa karena kekuasaan memang membutuhkan masa pendukung, dan semakin banyak uang dan kekayaan yang digelontorkan maka akan semakin tertarik orang untuk mengikuti kekuasaan tersebut bahkan ketika cara-cara yang dilakukan sudah tidak benar. Berikan saja embel-embel dan bendera sebagai common groundnya (landasan kebersamaan dalam kelompok tersebut), maka hilanglah landasan dan batasan yang umum berlaku di masyarakat. Akhirnya mereka malah lebih terpuruk lagi akibat pengrusakan dan anarki yang dilakukan, karena selain hilangnya bantuan dan sokongan yang biasa mereka dapatkan, mereka juga kehilangan massa yang merasa kondisi maksimal tersebut adalah hak mereka. Pada aliran sesat hal ini jelas terlihat ketika pengikutnya berdamai dengan keinginan pemimpin aliran sesat tersebut untuk melakukan bunuh diri masal. Pada satu titik pengikutnya masih menginginkan hidup senang dan tentram tapi dititik yang lain mereka tidak mampu untuk membela dirinya sendiri. Ketika pemimpinnya secara intensif berceramah yang mempengaruhi keyakinan mereka bahwa mereka harus ikhlas berkorban dan menerima kondisi yang ada karena surga menanti mereka, maka mereka pun menemukan titik temu tersebut sehingga damailah (RIP=rest in peace) pilihan mereka. Disinilah kita lihat permasalahan yang bisa ditimbulkan oleh peluang dan kesempatan yang instan, adanya hipocrisy damailah ini. Menurut gue pemimpinnya pesimis bahwa para pengikutnya tidak akan terjebak dengan cara cepat dan merusak untuk mempertahankan kondisi kehidupan mereka ketika pemimpinnya sudah tidak ada. Maklumlah karena para pengikutnya memang sudah terjebak dengan menggunakan cara cepat ini dengan mengikuti ajaran aliran sesat tersebut.
Di zaman modern ini, mengolah peluang dan kesempatan lebih dilihat pada menghasilkan uang (pendapatan) secara sustainable dan bukan untuk menghasilkan produk secara sustainable. Ketika kita melihat peluang untuk menghasilkan produk yang sustainable, kita mengambil kemungkinan yang datang untuk dimiliki (dikuasai secara penuh) dan kemudian diolah supaya hasilnya bisa berkelanjutan. Tetapi ketika peluang dan kesempatan hanya untuk meningkatkan pendapatan, maka kita hanya akan mengambil kemungkinan-kemungkinan yang datang tersebut tanpa pernah berusaha untuk menguasainya secara penuh sehingga kita seperti terlihat melompat-lompat mengambil setiap kesempatan yang ada. Akibatnya, bantuan dari orang lain untuk memberikan peluang seperti ini akan selalu dibutuhkan demi sebuah kemajuan. Kitapun seperti melangkah diatas angin, cepat dan tidak berpijak. Ketika kita sibuk akan lompatan-lompatan ini, kita lupa bahwa sebenarnya pekerjaan rumah kita untuk mengolah dengan benar atas apa yang kita miliki tidak pernah dilakukan. Kita selalu tertarik melihat teknologi baru, kesempatan dan peluang baru yang mungkin tidak kita butuhkan atau tidak bisa kita kelola. Juga dalam mencari pekerjaan, dengan alasan ingin mencari uang sendiri dan mandiri kita tidak mau mengelola apa yang sudah menjadi tanggung jawab kita atau apa yang sudah kita miliki. Contohnya, ortu kita punya kebun yang sangat luas, tapi kemudian kita lebih memilih mengambil tawaran orang lain untuk menjadi orang kantoran. Kata pepatahnya rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput sendiri.
Kalau dalam ilmu ekonomi ketika kita tidak bisa mengelola untuk menghasilkan produk yang sustainable maka secara riil produktivitas kita menurun. Kita hanya fokus meningkatkan pendapatan yang bisa kita dapatkan dengan terus mengambil dan mengambil peluang dan kesempatan yang ada (walaupun itu berarti kita terus membolongi perut bumi sampai malapetaka terjadi). Dengan pendapatan yang menjadi fokus peningkatan maka inflasilah yang menjadi feeder peningkatan pendapatan. (Kalau ada yang bilang sistem seperti ini adalah sistem riba gue rasa kurang tepat karena sistem seperti ini berbasis inflasi, negara menggelontorkan uang lewat surat utang yang diserap oleh perbankan. Pda sistem berbasis inflasi ini, bunga atau riba hanya sebuah mekanisme untuk mendistribusikan inflasi. Dan jujur aja, sistem berbasis riba jauh lebih mendingan daripada sistem berbasis inflasi karena dalam sistem riba kita masih punya pilihan, tapi pada sistem berbasis inflasi semua dipaksa untuk mengikuti arus inflasi ini). Ketika yang kita ambil terus menerus adalah sumber daya alam, maka ketika sumber daya alam tersebut harganya tinggi dipasaran, penurunan produktivitas tidak menjadi masalah. Hal ini karena penurunan produktivitas dapat dicounter dengan memasukkan barang dari luar menggunakan pendapatan yang tinggi tersebut. Konsumerisme akhirnya menjadi gaya hidup. Inflasi yang menjadi feeder sistem ini pun tidak muncul kepermukaan karena supply (kita masih bisa mendatangkan dari luar) dan demand (konsumerisme) masih seimbang. Kitapun melihat hal ini sebagai peningkatan daya beli (sayangnya dengan menurunkan daya saing). Hanya saja yang seperti ini biasanya tidak bisa berlangsung lama. Inflasi akan mulai terlihat ke permukaan ketika produktivitas yang menurun ini mulai menunjukkan giginya, yaitu ketika penurunan produktivitas lebih laju daripada kenaikan pendapatan. Biasanya hal ini terjadi karena yang terus menerus diambil ini semakin susah didapat atau harganya dipasaran melorot. Disini inflasi menyerap jumlah uang yang beredar dimasyarakat sehingga daya belipun berkurang. Otoritas keuangan yang biasanya punya mekanisme tersendiri untuk menyerap atau menggelontorkan uang (lewat surat utang) tidak akan cukup berdaya karena mekanisme pasar (the invisible hand) mulai bekerja. Ketika krisis terjadi siklus pun berulang dengan munculnya peluang dan kesempatan yang sifatnya instan bahkan yang berbasis money laundering (Uang digelontorkan dalam bentuk kesempatan dan peluang dimana uang tersebut adalah hasil kejahatan yang sudah dibungkus secara apik. Uang tersebut harus dibelanjakan untuk membeli kebutuhan atau produk tertentu sehingga uang tersebut mengalir kembali kepada si pelaku kejahatan yaitu pemilik atau produsen produk tertentu tersebut. Produk tersebut biasanya juga bodong artinya tidak memiliki arti atau manfaat yang durable' walaupun bisa juga durable. Contoh yang durable misalnya seseorang punya toko cat dan juga tempat hiburan malam yang ilegal. Dia akan menggelontorkan uang hasil kegiatan ilegal kepada anak buahnya untuk dibelikan cat ditokonya agar uang tersebut kembali kepada dirinya. Akhirnya anak buahnya kerjanya ngecat rumahnya melulu. Disini sangat terlihat simbiosis yang terjadi). Peluang dan kesempatan yang seperti ini memang bisa meningkatkan daya beli tetapi hanya sementara karena pada akhirnya akan menimbulkan inflasi yang jauh lebih dahsyat lagi. Dalam sistem seperti ini mengumpulkan uang dengan mengambil kesempatan dan peluang yang datang sebagai bekal kemandirian akan seperti memberi garam kelautan. Percuma.
Pilihan untuk mengambil kesempatan dan peluang yang datang, daripada mengolah apa yang sudah ada juga berdampak buruk pada level tanggung jawab yang dimiliki seorang individu atas apa yang dikerjakannya. Pilihan tersebut mengisyaratkan tanggung jawab yang rendah pada apa yang sudah dimiliki. Ketika tanggung jawab rendah maka pengrusakan akan mudah terjadi. Selain itu, kesempatan dan peluang inipun lebih mudah untuk dilepasnya karena memang pertimbangannya hanya manfaat yaitu uang yang didapat (pendapatan). Ketika manfaatnya berkurang atau ada yang lebih besar lagi manfaatnya (pendapatan) maka dengan mudahnya kita melompat. Coba bandingkan ketika aktivitas kita didasarkan pada keyakinan dan kesadaran bahwa apa yang kita miliki sudah cukup, tinggal kita mengolah dan mengelolanya dengan benar. Ketika muncul hal yang baru yang lebih menguntungkan, setidaknya keyakinan dan kesadaran tersebut akan mempengaruhi pengambilan keputusan kita kearah mana kita akan melangkah. Sayangnya manfaat seperti uang dan materi lebih terlihat oleh persepsi kita daripada keyakinan dan kesadaran seperti ini. Padahal yang namanya kesombongan dan keegoisan akan naik sampai kelangit ketujuh kalau bicara mengenai "manfaat" materi. Orang akan dirasakan lebih hebat dan terhormat ketika dia bisa membangun bangunan yang megah, atau membuat acara di hotel yang wah...atau berhasil membuat panggung hiburan yang megah. Masa bodo deh sponsornya darimana yang penting brojol-brojol deh uangnya. Hal tersebut bahkan akan sangat membanggakan. Padahal dibelakang itu semua kita mungkin tidak tauk aktivitas apa yang sudah dilakukannya untuk mendapatkan peluang dan kesempatan seperti ini. Mungkin saja uang tersebut hasil dari money laundering, dan mungkin saja pada akhirmya aktivitasnya bisa merugikan kita semua. Ketika ada orang yang sebenarnya dengan keyakinannya sudah susah payah mempertahankan apa yang sudah dimiliki, maka orang akan mencibir karena tidak ada kemajuan yang berarti yang bisa membuat orang lain ikutan senang dan bahagia. Ga ada kemajuan....hmm, memangnya kita sudah cukup pantas menerima kemajuan yang seperti ini?
Masalah lain yang bisa timbul dari peluang dan kesempatan yang ga jelas dan instan ini adalah bisa menciptakan ketidaksesuaian antara usaha yang dilakukan dengan kemampuan dan level tanggung jawab yang dimiliki. Yang kemudian bisa mempersulit orang lain yang sebenarnya mempunyai tingkat kemampuan dan tanggung jawab yang sesuai, atau bahkan menghilangkan kesempatan orang. Seorang bawahan misalnya dia menjadi lebih berkuasa daripada atasannya karena dia yang menerima peluang usaha dari luar. Atasan kemudian tunduk kepada bawahannya hanya karena bawahannya mempunyai koneksi yang lebih menguntungkan, padahal atasan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Ketika terjadi sesuatu atasanlah yang kemudian bertanggung jawab dan bawahannya hanya lenggang kangkung saja. Atau bisa saja bawahannya ini menjadi sebuah kekuatan rival yang membayangi kekuasaan atasannya tanpa harus mempunyai tanggung jawab tertentu dan menggerogoti kuasa atasannya. Ketika atasannya ingin dijatuhkan dia tinggal menggunakan informasi yang buruk mengenai atasannya dimana informasi ini memang dengan mudahnya dia dapatkan karena dialah perantara untuk peluang yang didapat bosnya, dan akibat informasi yang buruk mengenai atasannya tersebut dia malah menjadi pahlawan pengungkap kebenaran. (Disini terlihat bagaimana informasi lebih dihargai daripada beban tanggung jawab seseorang).Peluang dan kesempatan yang instan memang kerap menggunakan informasi yang instan yang biasanya didapat dari luar. Hal seperti ini tidak hanya terjadi pada lingkup bisnis tapi bisa juga terjadi pada lingkup yang lebih kecil seperti didalam sebuah keluarga, pertemanan atau lingkungan tetangga. Setelah mendapat peluang dan kesempatan emas dia juga mendapat informasi buruk perihal pasangannya atau temannya atau tetangganya yang bisa menjatuhkan pasangannya atau temannya atau tetangganya. Atau dia mendapat informasi yang baik mengenai penyempurnaan kepribadian atau keseharian dirinya. Informasi yang personal inilah yang kemudian menjadi sangat dihargai bukan hanya karena peluang dan kesempatan emas yang menyertainya tapi juga karena informasi tersebut secara kultural diterima sebagai masukan yang berharga (cara instan tanpa proses untuk mengenal seseorang atau diri sendiri). Aroma busuk peluang dan kesempatan emas yang dia dapat tersebut tidak tercium akibat dia hanya bisa mencium informasi busuk yang dia dapat perihal pasangannya atau temannya atau tetangganya, atau aroma wangi dari perbaikan dan penyempurnaan dirinya. Disini tatanan kehidupan bermasyarakat tergrogoti oleh nafsu yang didapat dari peluang dan kesempatan ini.
Peluang dan kesempatan yang menggunakan informasi yang instan ini bisa terdeteksi ketika mereka menganggap informasi tersebut adalah pengetahuan yang bisa diimplementasikan. Padahal informasi sebenarnya tidak cukup untuk dijadikan pengetahuan, karena pengetahuan adalah hal yang mendasar yang tidak terpengaruh oleh implementasi serta situasi kondisi yang ada. Pengetahuan yang seperti ini biasanya didapat dari textbook, tertulis dan terverifikasi, atau dari hasil pengamatan selama puluhan tahun atas objek yang bersangkutan. Ilmu agama yang berasal dari kitab suci adalah salah satu pengetahuan dasar tersebut. Akibat penggunaan informasi yang instan, maka pengetahuan yang mendasar tidak dibutuhkan lagi. Makanya peluang dan kesempatan yang seperti ini biasanya sangat menarik karena full of implementation tapi kekurangan originalitas atas inisiafif yang dilakukan akibat tidak memiliki pengetahuan yang mendasar. Ibaratnya kita mengenal pribadi seseorang dari hasil uji psikotes daripada melalui pertemanan selama bertahun-tahun. Atau menggunakan teknologi canggih tanpa tauk bagaimana membuat teknologi tersebut.
Kegagalan yang kemudian terjadi akibat peluang instan tersebut adalah karena keaktifan mereka didasarkan pada suatu titik kelemahan. Mereka "act based on weakness". Mereka bisa aktif karena mendapatkan bantuan (bantuan bisa dikategorikan sebagai kelemahan). Merekapun bisa aktif karena melihat atau mendapat informasi mengenai kekurangan orang lain. Inilah pesimisme mereka yang mereka tolak untuk akui.
In hipocrisy, white lose. When white lose, the end will be really really nasty.
Dari kecil kita sudah terbiasa dengan yang namanya kompetisi baik dilingkungan keluarga (antara adik dan kakak) atau sekolah. Kompetisi selalu identik dengan kemenangan yang cakupannya lebih kecil, seperti antar individu atau antar kelompok.
Kompetisi ada karena adanya persaingan dan bukan perlawanan sehingga kemenangannya bersifat lebih lemah dan mudah.
Permasalahan timbul ketika kompetisi sangat rentan dengan penyimpangan yaitu berbagai kecurangan dan tipu muslihat. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi akibat tidak kuatnya penegakan hukum dan aturan, memberikan reward terhadap penyimpangan yang dilakukan, dengan memenangkan orang yang lebih jahat atau yang lebih licik atau yang lebih masiv. Kompetisi-kompetisi dengan penyimpangan seperti inilah yang menciptakan feedback untuk hal yang negatif. Negatif berarti selalu berekspektasi kalau hal yang tidak baik, jahat, terselubung atau masiv diperlukan/dibutuhkan untuk mendapat kemenangan, sebuah proses pendewasaan akibat feedback negatif dari lingkungan yang tidak mempunyai aturan hukum yang kuat. Proses pendewasaan seperti ini cenderung aktif karena selalu melihat adanya kompetisi walaupun tidak tampak, dimana didalam kompetisi tersebut ada yang menang dan ada yang kalah, sehingga mereka akan berusaha mencari kekuatan untuk diri mereka (dan kelompoknya) serta mencari kelemahan lawan dengan manipulasi dan tipu muslihat.
Kompetisi dengan proses pendewasaan yang negatif juga sangat tidak sehat karena menciptakan situasi kekanak-kanakan yang harus selalu membutuhkan pengayoman (dan pembelajaran) agar tercipta suasana yang kondusif.
Proses pendewasaan negatif berpikir kalau kejahatan dan keaktifan mereka ada manfaatnya dan berakibat baik untuk mereka atau orang lain.
Tindakan mereka lebih dipengaruhi oleh kondisi dan fakta daripada keyakinan, dengan awareness yang rendah terhadap keyakinan mereka. Inilah makanya orang-orang dengan proses pendewasaan
negatif sangat sulit untuk "dibilangin" kalau apa yang mereka lakukan salah, mereka hanya bisa "mentok/kepentok" kalau mereka ketemu dengan konsekuensi yang bersifat duniawi. Artinya, mereka lebih mempercayai konsekuensi/pengalaman duniawi seperti sebab-akibat dan karma sebagai pembelajaran, sebagai patokan, sehingga ketika mereka adalah orang yang aktif, maka mereka pun aktif pula mentokin orang(menciptakan konsekuensi) sebagai proses pembelajaran.Inilah, yang ketika berhubungan dengan keyakinan, membuat mereka bisa saja melakukan pengorbanan-pengorbanan dan penyalahan takdir/kodrat.
Pendewasaan dengan feedback negatif sebenarnya biasa terjadi dan bisa membuat kehidupan manusia menjadi berwarna-warni (mirip rainbow cake). Secara natural proses pendewasaan dengan feedback negatif akan menemui konsekuensi-konsekuensi (duniawi) akibat dari perbuatannya atau mendapat proses pembelajaran baik dari ilmu/ pengetahuan yang dia dapatkan (dari pendidikan formal dan ajaran seperti agama) sehingga feedback negatif tersebut bisa terhenti. Tetapi, ketika sebuah pandangan bahwa proses pembelajaran yang seharusnya didapat dari pendidikan orang tua dan formal tidak cukup, dan malah lebih mengutamakan pembelajaran menggunakan konsekuensi akibat dari perbuatannya, dimana hanya lingkungan yang bisa memberikan konsekuensi-konsekuensi tersebut, maka pengalaman yang berasal dari lingkungan tersebutlah yang akan menjadi fokus pembelajaran dengan menitikberatkan pada konsekuensi yang bersifat duniawi (pengalaman, sebab-akibat, karma). Karena fokus mereka pada lingkungan inilah yang bisa membuat mereka aktif menciptakan lingkungan dengan konsekuensi-konsekuensinya. Padahal, justru lingkungan jualah yang telah menciptakan feedback-feedback negatif dimana artinya lingkungan adalah hal yang tidak bisa dipercaya dalam sebuah proses pembelajaran. Ketika konsekuensi/pengalaman menjadi sangat dibutuhkan sekali untuk pembelajaran, pelanggaran yang terjadi dalam penciptaan konsekuensi tersebut akan tidak terlihat. Seorang kakak misalnya, melihat adiknya tidak mau menurutinya sebagai kakak yang lebih tua, maka sang kakak menghukum adikya dengan menjahili dan tidak mau berbagi dengan adiknya. Ketika sang kakak kemudian tidak menuruti orang tuanya dan lolos dr hukuman, sang adikpun mendapat feedback negatif akan mudahnya ketidakadilan terjadi. Di kemudian hari sang adikpun menjahili kakaknya sebagai jawaban atas feedback negatif yang diterimanya, yang berarti kenakalan sang adik malah menjadi-jadi. Disini gue melihat permasalahannya bukan pada ketidakadilan, tapi bagaimana peraturan ditegakkan dalam sebuah lingkungan kecil seperti keluarga, dimana hukuman atas pelanggaran yang terjadi tidak bisa dilakukan oleh sembarang anggota keluarga seperti seorang kakak yang tidak mempunyai kewenangan. Apabila hukuman ditegakkan dengan benar dan hukuman tersebut cukup dirasakan, maka hal negatif yang dilakukan akan bisa dirasakan sebagai hal yang tidak boleh dilakukan, sehingga bukan feedback (untuk melakukan kejahilan) yang dia terima tapi tuntunan dalam pengambilan keputusan di kemudian hari (feedback juga terjadi apabila hanya reward dan kepositifan yang diterimanya setelah melakukan hal yang negatif dimana akan menghilangkan sense kenegatifan dari hal yang negatif). Permasalahan seperti diatas didalam lingkungan keluarga sangat lumrah terjadi, tetapi apabila hal tersebut dibawa sampai kelingkungan luar dimana setiap orang tidak mempunyai keterkaitan yang khusus dan jelas, kompleksitas permasalahan akan menjadi tidak terkendali. Setiap orang bisa "memberi pelajaran" kepada orang lain karena dianggap/dinilai melakukan kesalahan padahal hal tersebut diluar kewenangannya. Keaktifan pada pendewasaan negatif pada akhirnya sangat mudah disesatkan karena solusi yang dijalankan hanya akan menciptakan spiral permasalahan yang baru seperti adanya hukuman yang ga jelas (feedback negatif). Bahkan terkadang keaktifan ini bisa mentrigger dia untuk menghukum dirinya sendiri atas kesalahan yang dia lakukan. Makanya, edukasi mengenai peraturan negara dan agama oleh ortu atau sistem pendidikan formal dengan kurikulumnya yang kaku adalah yang terpenting daripada mengenal konsekuensi duniawi
(pengalaman, sebab-akibat, karma)
dalam pembelajaran mengenai mana yang benar dan salah (apalagi kalau konsekuensi duniawinya terlalu mengada-ada sehingga tidak logis dan tidak ada dalam hukuman dan peraturan didalam agama dan negara). Apabila konsekuensi duniawi tersebut yang dijadikan bahan pelajaran, maka hasilnya bisa saja main hakim sendiri, yang akan semakin menjauhkan diri kita dari ajaran agama dan peraturan yang ada dengan mempercayai hal lain seperti misalnya mempercayai sistem karma. Proses pendewasaan negatif berpikir bahwa
dunia berputar karena adanya kompetisi yang membuahkan kemenangan dan kekalahan, dimana pemenangan kompetisi tersebut adalah hasil tipu muslihat dan kecurangan. Akibatnya, pada proses pendewasaan negatif terdapat konsep bahwa selama masih ada kompetisi dan rencana-rencana yang menyimpang, maka dunia masih berputar dan masih ada hari esok. Kedewasaan pun dilihat sebagai kemampuan melakukan hal yang jahat, menyimpang, terselubung secara terkendali (terkendali disini maksudnya bertanggung jawab atau tertanggung jawab). Disini terlihat permasalahan utama dari proses pendewasaan negatif, dimana kedewasaan yang diwujudkan dengan berbagai tipu muslihat dan kecurangan, dimunculkan dengan penampilan yang positif, yaitu dengan nuansa kepentingan bersama/demi kebaikan/pembenaran, dan juga dengan penampilan positif bahwa semua orang bisa mendapatkan kemenangan tersebut. Jadi, pada orang dengan pendewasaan negatif, didalam diri mereka, mereka meyakini kompetisi, dimana ada yang kalah dan ada yang menang, tetapi tampilan luar yang mereka persembahkan justru adalah kebalikannya, yaitu kemenangan untuk semua orang (zero competition) akibat adanya persepsi "tanggung jawab" yang terkendali. Ketidakkonsekuenan inilah yang membuat proses alami tidak berjalan dengan semestinya sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasarkan proses pendewasaan negatif menjadi abu-abu dan apa yang dianggap terkendali sebenarnya tidak terkendali. Tidak terkendali karena biasanya pada pendewasaan negatif kendali tidak berada ditangannya akibat mengandalkan kemasivan atau kekuatan dari luar dirinya/lingkungannya. Salah satu contoh ketidakkonsekuenan dalam tipu muslihat yang bisa terjadi akibat pendewasaan negatif misalnya tindakan licik(smart) berpura-pura sebagai orang yang bodoh/lemah/rendah untuk mendapatkan hal yang lebih, dimana sebenarnya perbuatan tersebut sangat tidak bersesuaian. Ketika kita berpura-pura bodoh atau rendah, kita ga seharusnya minta/mendapatkan hal yang lebih (kalau kita minta lebih itu namanya mengakali dan menjadikan orang dimana kita merendah sebagai lawan kita yaitu orang yang kita akali). Kalau permainan pintar ini yang kita mainkan, kita harus sudah yakin siapa yang sedang kita tipu dan apa bisa menipu dia (kalau agama gue sudah jelas siapa-siapa yang kita tidak usah berurusan, baik dijadikan lawan atau kawan, dalam suatu urusan). Sudah seharusnya yang namanya tipu muslihat, kecurangan dan kebohongan dilakukan dengan kesadaran bahwa hal tersebut tidak menghasilkan kebaikan untuk kita atau orang lain sehingga kesadaran tersebut akan menimbulkan kewaspadaan. Dan bukan hanya itu, didalam kompetisi dengan pendewasaan negatif kita hanya terfokus mengalahkan sesama kita saja sehingga menciptakan pandangan bahwa "dia" dan "masalahnya" adalah yang menjadi objek utama dalam suatu permasalahan, dan bahwa "aku" dan "kelebihanku" adalah yang menjadi subjek utama dalam suatu perbaikan. Akibat dikotomi ini, pemikiran strategis tidak terbentuk dan malah mengarah pada perpecahan. Kita menjadi tidak berusaha untuk mengetahui siapa sebenarnya yang harus kita lawan, yaitu, siapa yang (membuat kita) menyalahi peraturan dan ajaran serta nilai-nilai yang ada (menerobos pertahanan strategis untuk sistem tempat kita bernaung). Kita juga menjadi tidak sadar akan siapa yang sedang kita tipu dan siapa yang berusaha kita outsmarting(akali) dari kepura-puraan yang dilakukan. Pada akhirnya, kompetisi dengan proses pendewasaan negatif tidak mengarahkan orang untuk terdeferensiasi (karena semuanya ingin mencapai satu titik yang sama yaitu kesuksesan), tapi malah terdeviasi (dari aturan, nilai dan ajaran yang umum dimasyarakat), sehingga menyebabkan rusaknya sistem kompetisi yang alami dan teratur. Jadi alih-alih sebuah kendali melalui keteraturan (less complex), deviasi inilah yang malah menimbulkan kebutuhan akan kendali melalui ketidakteraturan (more complex). Inilah biasanya yang menjadi pintu masuk bagi aliran sesat, organized crime, premanisme dsb. --------------------------------------------------------------------------------- Off the topic: Ada seribu satu cara menciptakan ketidakteraturan dari sebuah keteraturan dan cara-cara ini dilakukan dengan sangat kreatif seperti sebuah permainan akrobatik yang sangat menarik. Salah satu cara adalah dengan menimbulkan/menampilkan karakter yang bersesuaian dengan kondisi chaos dan menegatifkan karakter yang tidak mendukung kondisi chaos. Misalnya saja, orang yang introvert, pendiam, tidak bergaul diasosiasikan dengan tindak kejahatan tertentu. Padahal, banyak dari pelaku tindak kejahatan tersebut mempunyai follower atau kelompok yang jumlahnya tidak sedikit, dan juga mempunyai ambisi yang tinggi dan tidak sungkan dan malu untuk menerjemahkan ambisi tersebut menjadi kenyataan. Kalau masalah tidak mau berinteraksi dengan lingkungan, tidak sedikit contoh anggota geng yang bahkan tidak peduli dan cenderung bermusuhan dengan lingkungannya, dan anggota geng tersebut biasanya bukan termasuk orang introvert apalagi pendiam (menurut gue seseorang masuk ke kelompok tertentu biasanya karena perasaan insecure ditambah ambisi yang tinggi). Sementara itu, lawan kata dari introvert dan pendiam dianggap lebih preferable, yaitu ekstrovert dan banyak bicara. Ketika yang ekstrovert dan banyak bicara tersebut kurang memahami batasan yang membatasi elemen lingkungan dengan elemen privacy, maka karakter tersebut bisa diarahkan untuk mendukung chaos. Begitu juga dengan spontanitas, ketika spontanitas adalah hal yang preferable karena memebuat kita lebih cepat melesat maju, efek samping dari spontanitas jadi terlupakan. Ketika spontanitas dilakukan tanpa proses berpikir dulu atau tanpa proses mengenal si objek spontanitas, maka spontanitas tersebut bisa diarahkan untuk mendukung chaos. Terkadang bahkan membutuhkan pancingan untuk menimbulkan karakter yang mendukung chaos. Agama pun seringkali dipergunakan sebagai pancingan. Dengan iming-iming akan menghasilkan kebaikan, si A dengan kesengajaan memberi contoh atau suri teladan akan hal atau perbuatan yang tidak baik. Misalnya saja, si A memberi contoh kepada si B atau khalayak bahwa dia bisa berubah dari tidak baik menjadi baik. Apalagi kemudian dia dianggap sebagai contoh suri teladan yang benar yang harus diikutin. So ramai-ramailah orang menganggap berbuat yang tidak baik tidak apa-apa, asalkan nanti bisa menjadi baik lagi. Gue sendiri menganggapnya sudah ga bener kalau si A mau saja menggembar-gemborkan pengalaman pribadinya untuk menjadi panutan atau contoh seakan-akan kita sebagai umat beragama kekurangan contoh atau suri teladan. Masalahnya, siapa yang menilai perubahan tersebut serta baik buruknya perbuatan dia ketika yang ada cuma sebatas cerita dan informasi dari seseorang? Apakah hal yang didasarkan pada cerita dan informasi seperti itu sudah cukup pantas menjadi contoh atau suri teladan? Bagaimana dengan sahabat Nabi seperti Umar r.a., bukankah beliau sudah cukup menjadi contoh dan suri teladan? Kenapa ingin yang lebih/lain? Terkadang orang dengan mudahnya dimanipulasi untuk memberi pelajaran/contoh/suri teladan atas hal yang tidak baik dan terkadang hal ini bisa menjurus ke tindak pelanggaran. Biasanya hal ini berhubungan dengan persepsi bahwa dunia ini keras dan kejam, makanya kekerasan dan kekejaman harus diajarkan sehingga orang menjadi terbiasa dengan keras dan kejamnya hidup. Keras dan kejamnya hidup ini adalah gambaran dunia yang chaotic dan mengajarkannya tanpa point yang jelas dan pegangan yang jelas malah akan menambah situasi chaos. Misalnya saja, ketika mendapat informasi bahwa si B terlalu baik dan pasif, si A pun memberi contoh hal-hal yang tidak baik dan terlalu aktif sampai-sampai dia melakukan hal-hal yang diluar batas kendalinya (hal-hal yang mendukung chaos). Contohnya lagi yang lebih berbahaya adalah ketika si A mendapat informasi bahwa si B tuh payah karena tidak berani membalas perlakuan ga jelas yang diarahkan kepada si B, si A pun menghina si B yang menurutnya payah tersebut dengan menghadiahkannya dengan anak ayam dan mencontohkanbagaimana caranyamembalas dan melawan yang ga jelas. Walhasil, si A tidak hanya mengajarkan yang namanya balas dendam, tapi juga mengajarkan bagaimana bertingkah konyol dan menjadi agen chaos. Sekali lagi gue katakan kita sudah punya suri teladan dan contoh yang sebaik-baiknya yaitu Nabi dan para RasulNya, dan setauk gue mereka tidak gegabah membalas serangan ga jelas dan aniaya dari kaum jahiliyah. Untuk apa dengan sengaja memberikan contoh dan suri teladan yang tidak sejalan dengan Nabi dan RasulNya? Keberanian tersebut harusnya dilihat dari bagaimana para Nabi dan RasulNya berani merebut dan mempertahankan tanggung jawab terhadap hal yang diembankan kepada mereka dan bukan keberanian balas membalas. Lagipula, coba deh disimak lagi siapa yang pengecut, orang jahiliyah ini kan mainnya keroyokan, dalam situasi yang timpang ngambil kesempatan dalam kesempitan untuk berlaku aniaya, terkadang juga main belakang dan selalu berusaha membunuh para Nabi dan Rasul secara diam-diam dan tersembunyi, bukankah mereka yang sebenarnya pengecut? Gue rasa tidak perlu seseorang menjadikan dirinya atau orang lain sebagai contoh atau suri teladan, perbuatan kita lebih baik diniatkan saja untuk mencari jalan yang lurus dan diridhoi Allah SWT. Niat tersebut sudah cukup daripada kemudian berbuat yang aneh-aneh dengan menampilkan apa-apa yang dianggapnya baik sementara yang jelek ditutup-tutupin hanya supaya bisa menjadi contoh dan suri teladan yang baik, takabur nanti padahal belum tentu ilmunya cukup. Niat untuk mencari jalan yang lurus dan diridhoi Allah SWT saja sudah cukup sulit dikerjakan apalagi kalau ditambah niat untuk menjadi contoh dan suri teladan yang baik. Yakin dan PD mampu mengemban amanah sebesar itu? Orang pun sangat mudah dimanipulasi untuk sesuatu yang dirasakan invisible. Para agen chaos juga biasanya diarahkan untuk merasakan objeknya sebagai sesuatu yang invisible, sesuatu yang dirasakan tidak tampak, sehingga kewenangan mereka terhadap yang dirasa tidak tampak tersebut bisa full dan overly done (semena-mena). Ketika perilaku yang overly done terhadap hal yang dirasa tidak tampak ini menjadi kebiasaan, maka hal-hal yang tidak tampak lainnya seperti keyakinan dan kesetiaan kita pada agama dan negara juga pada akhirnya digoyang dengan tindakan semena-mena (sekehendak hati...seenak hati....sesuai dengan hatinya). Tindakan yang bersifat invisible pun akan dibiarkan merajalela, seperti fitnah, kemunafikan, pengkhianatan dan sebagainya. (Gue sudah banyak melihat contoh kehancuran yang diakibatkan serangan yang visible seperti yang disini misalnya, tapi serangan yang invisible, bentuk kehancurannya seperti apa?)
--------------------------------------------------------------------------------- Masalah kompetisi berfeedback negatif ini juga bisa menjelaskan perilaku para pengikut dalam aliran sesat. Pada aliran sesat para pengikutnya bertindak/berpura-pura sebagai orang yang lemah dan bodoh kepada pemimpinnya dengan mengikuti semua kehendak, arahan dan inisiatif pemimpin tersebut (give) bahkan dengan melanggar batasan dan aturan yang ada (give), tapi dengan mengharapkan yang lebih yaitu supaya impian-impian(cita-cita) mereka bisa terwujud (get). Secara tidak sadar mereka menempatkan pemimpin mereka sebagai lawan yang mereka akali. Ibaratnya menaiki sepeda tandem, maka para pengikutnya tidak berusaha untuk ikut menggenjot sesuai dengan arah yang mereka inginkan tetapi mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pemimpinnya yang sebenarnya mempunyai tujuan tersendiri. Seakan-akan mereka berusaha mengakali pemimpinnya untuk dapat sampai ketujuan pribadi mereka. Kalau pemimpin mereka cukup pintar untuk memanipulasi mereka dengan perasaan positif (senang, tentram) maka hal ini akan membuat mereka menjadi tidak sensitif dan tidak memiliki keprihatinan terhadap hal yang negatif
yang membuat perlawanan mereka hilang akibat merasa bahwa tujuan hidup sudah tercapai. Selain itu, perasaan positif ini pun membuat mereka sudah merasa benar, karena memang perasaan tersebut yang diperjelas dan diperkuat (get), sehingga, ketika mereka diminta untuk melakukan pengorbanan dan kesetiaan, pertahanan mereka pun hilang (mereka tidak lagi menggunakan ajaran dan aturan yang umum berlaku). Akibat dari ini semua yaitu, lemahnya pertahanan dan perlawanan, ketergantungan mereka terhadap pemimpinnya (lawan) semakin besar, yang membuat mereka membutuhkan lebih banyak lagi pengorbanan (give) dan mengikuti (give), merekapun melupakan cara berpikir strategis. Apalagi, sejalan dengan ini, kompetisi juga akan terdorong terus karena mereka mempunyai impian dan cita-cita yang umum (sama) yang ingin mereka wujudkan sehingga memandang sekitarnya sebagai lawan. Ketika pertahanan hilang, perlawanan hilang, permainan kompetisi semakin kuat, dan mereka hanya melakukan pengorbanan-pengorbanan dan mengikuti pemimpinnya, yang sebenarnya merupakan lawan mereka, sehingga melupakan cara berpikir strategis, maka akhir dari hal ini bisa sangat tidak menyenangkan.
Proses pendewasaan negatif memang sangat rentan terhadap pengaruh kesesatan yang berhubungan dengan keyakinan, karena mereka meyakini membutuhkan perbuatan yang tidak baik/jahat/kuat tersebut untuk bergerak maju, dan ini berarti mereka akan pergunakan alasan apapun (termasuk keyakinan) dalam mendasari perbuatannya tersebut. Akibatnya, keyakinan adalah sebuah kebutuhan hidup yang "dipakai" sebagai alasan pembenaranuntuk menjalani roda kehidupan. Padahal, keyakinan tuh sejatinya tidak sama dengan kebutuhan hidup (kebutuhan agar kita bisa hidup) karena kita dituntut untuk mempertahankan keyakinan tersebut dengan hidup kita sendiri. Mungkin gue akan pakai keyakinan orang jawa aja ya, mangan ora mangan ngumpul (makan atau tidak makan kumpul) sebagai contohnya
untuk menjelaskan perilaku pada pendewasaan negatif
terhadap sebuah keyakinan (keyakinan orang jawa gue pakai karena lebih mudah penjelasannya daripada keyakinan agama, dan karena gue sendiri keturunan jawa dimana keyakinan yang paling mudah yang gue tauk ya cuma perkataan itu, tapi bukan karena ingin menjelaskan keyakinan apalagi perilaku orang jawa). Pada pendewasaan negatif, dengan berpegang pada keyakinan tersebut, ketika ada yang susah mangan, mereka akan secara aktif (maksudnya aktif adalah dengan cara cepat) menghilangkan/mengucilkan yang susah mangan tersebut dengan alasan demi mendapat manfaat dan akibat yang baik (pengorbanan/mentokin orang). Seakan-akan keyakinan tersebut bisa dengan "kesengajaan dihilangkan" atau dirubah menjadi "tidak harus ngumpul".Tapi, ketika dirinya yang susah mangan, mereka akan secara aktif pula (dengan cara cepat) menggunakan keyakinan tersebut untuk membuat dirinya menjadi gampang mangan bahkan dengan melakukan tindakan terhadap orang-orang yang gampang mangan(pengorbanan pula/mentokin orang pula). Seakan-akan keyakinan tersebut bisa dengan "kesengajaan ditimbulkan" atau dirubah menjadi "harus kumpul".Pendewasaan negatif melakukan tindakan-tindakan yang transisional terhadap keyakinan dimana keyakinan tersebut bisa hilang dan muncul dan hal tersebut dibenarkan karena sesuai dengan kondisi dan keperluan. Semangat kebersamaan yang sebenarnya dijunjung tinggi pada keyakinan tersebut pun akhirnya hilang karena keyakinan tersebut ternyata hanya "dipakai" saja (seperti baju yang merupakan kebutuhan hidup sehari-hari) untuk mendatangkan manfaat sebagai pembenaran atas tindak-tanduk yang mereka lakukan. Dari sini bisa kita lihat juga pengaruh kompetisi pada pendewasaan negatif yang memberikan kecenderungan pada mereka untuk menggunakan cara aktif yang cepat (dengan melanggar penegakan aturan dan hukum, nilai dan ajaran). Kecepatan inilah yang terkadang tidak tepat karena ketepatannya ditujukan untuk sebuah tujuan dan bukan ketepatan pada aturan dan hukum, nilai dan ajaran yang umum dimasyarakat. Kalau orang jawa bilang alon-alon asal kelakon (nah kalau ini gue memang menjelaskan keyakinan orang jawa), pelan-pelan asal selamat, dimana keyakinan orang jawa adalah untuk tidak menggunakan cara-cara cepat yang tidak tepat tersebut (kehati-hatian seperti itu biasanya ditujukan untuk hal yang keras atau getas, seperti pot tanah liat, dan bukan untuk hal yang lembek dan fleksibel seperti karet yang mudah ditarik sana-tarik sini).
Kompetisi dengan proses pendewasaan negatif sangat bergantung pada hal-hal yang cepat membawa mereka kepada tujuan mereka. Makanya kompetisi ini lebih menghargai informasi dan kemasifan daripada mengasah kemampuan dan keterampilan, karena informasi dan kemasifan adalah cara cepat untuk membuat mereka bisa selangkah lebih maju (up to date) dalam melakukan aksinya. Apalagi sekarang adalah jamannya informasi tanpa batas, sehingga siapa yang mendapat dan menguasai informasi-informasi lebih dahulu maka dialah yang terdepan. Dengan informasi tidak perlu lagi asahan kemampuan karena informasi bisa memberikan kita kemampuan yang kita inginkan. Makanya kita seharusnya tidak bisa percaya begitu saja dengan pemberi informasi, karena informasi tersebut ibaratnya jalan tol super cepat yang panjang, kita ga tauk pasti ujungnya ada dimana.
Proses pendewasaan negatif juga menciptakan suasana saling percaya antar sesama manusia yang tidak wajar. Pada proses pendewasaan negatif, saling percaya timbul akibat persengkokolan dalam melakukan penyimpangan atau pelanggaran atas aturan dan ajaran yang berlaku. Saling percaya dan keterikatan dipaksakan timbul karena salah seorang misalnya melakukan kesalahan dan yang lain merahasiakannya. Tapi justru inilah yang menimbulkan rasa percaya tersebut defektif karena mempercayai orang yang sudah melanggar kepercayaan/keyakinannya sendiri. Karena rasa percaya yang defektif tersebutlah mereka merusak rasa saling percaya yang harusnya ada dalam bermasyarakat sehingga mereka menjadi takut untuk melangkah tanpa adanya dukungan dan sokongan yang masiv. Kalau menggunakan perumpamaan yang disebutkan pada tulisan Mengenai Penyesatan (Bag. 2) maka pendewasaan negatif membuat orang menjadi lebih mudah untuk menjadi penumpang di dalam sebuah kereta daripada menjadi pengendara mobil akibat hilangnya rasa percaya pada aturan yang umum yang berlaku. Singkat cerita, pendewasaan dengan feedback negatif diakibatkan krn orang lebih mempercayai kemampuan lingkungan sekitar untuk mendidik dan pembelajaran, lebih mempercayai pengalaman yang berasal dari lingkungan daripada pengamalan aturan, nilai dan ajaran yang sebenarnya sudah ada dan bisa dipelajari disekolah atau dirumah yang bisa dimulai dari diri sendiri. It's like going back to the stone age, dimana segala sesuatu hanya bisa dipelajari dari lingkungannya. (Terkadang gue pikir manusia memang ingin balik kejaman batu ketika orang yang makan binatang yang menjijikkan tanpa diolah lebih dulu dianggap hebat dan memenangkan kompetisi, memangnya manusia ga punya otak apa untuk mengolah makanannya terlebih dulu?)
"Betty, you wouldn't believe what I've just heard as I headed back home..."
All copyrighted materials that presented in this blog are property and copyright of their owners. Those materials are provided for educational purposes and personal use only.