My Facebook

not shown

Jumat, 05 April 2013

Kompetisi Dengan Feedback Negatif

Dari kecil kita sudah terbiasa dengan yang namanya kompetisi baik dilingkungan keluarga (antara adik dan kakak) atau sekolah. Kompetisi selalu identik dengan kemenangan yang cakupannya lebih kecil, seperti antar individu atau antar kelompok. Kompetisi ada karena adanya persaingan dan bukan perlawanan sehingga kemenangannya bersifat lebih lemah dan mudah. Permasalahan timbul ketika kompetisi sangat rentan dengan penyimpangan yaitu berbagai kecurangan dan tipu muslihat. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi akibat tidak kuatnya penegakan hukum dan aturan, memberikan reward terhadap penyimpangan yang dilakukan, dengan memenangkan orang yang lebih jahat atau yang lebih licik atau yang lebih masiv. Kompetisi-kompetisi dengan penyimpangan seperti inilah yang menciptakan feedback untuk hal yang negatif.  Negatif berarti selalu berekspektasi kalau hal yang tidak baik, jahat, terselubung atau masiv diperlukan/dibutuhkan untuk mendapat kemenangan, sebuah proses pendewasaan akibat feedback negatif dari lingkungan yang tidak mempunyai aturan hukum yang kuat. Proses pendewasaan seperti ini cenderung aktif karena selalu melihat adanya kompetisi walaupun tidak tampak, dimana didalam kompetisi tersebut ada yang menang dan ada yang kalah, sehingga mereka akan berusaha mencari kekuatan untuk diri mereka (dan kelompoknya) serta mencari kelemahan lawan dengan manipulasi dan tipu muslihat. 


Kompetisi dengan proses pendewasaan yang negatif juga sangat tidak sehat karena menciptakan situasi kekanak-kanakan yang harus selalu membutuhkan pengayoman (dan pembelajaran) agar tercipta suasana yang kondusif. Proses pendewasaan negatif berpikir kalau kejahatan dan keaktifan mereka ada manfaatnya dan berakibat baik untuk mereka atau orang lain. Tindakan mereka lebih dipengaruhi oleh kondisi dan fakta daripada keyakinan, dengan awareness yang rendah terhadap keyakinan mereka. Inilah makanya orang-orang dengan proses pendewasaan negatif sangat sulit untuk "dibilangin" kalau apa yang mereka lakukan salah, mereka hanya bisa "mentok/kepentok" kalau mereka ketemu dengan konsekuensi yang bersifat duniawi. Artinya, mereka lebih mempercayai konsekuensi/pengalaman duniawi seperti sebab-akibat dan karma sebagai pembelajaran, sebagai patokan, sehingga ketika mereka adalah orang yang aktif, maka mereka pun aktif pula mentokin orang(menciptakan konsekuensi) sebagai proses pembelajaran. Inilah, yang ketika berhubungan dengan keyakinan, membuat mereka bisa saja melakukan pengorbanan-pengorbanan dan penyalahan takdir/kodrat.  


Pendewasaan dengan feedback negatif sebenarnya biasa terjadi dan bisa membuat kehidupan manusia menjadi berwarna-warni (mirip rainbow cake). Secara natural proses pendewasaan dengan feedback negatif akan menemui konsekuensi-konsekuensi (duniawi) akibat dari perbuatannya atau mendapat proses pembelajaran baik dari ilmu/ pengetahuan yang dia dapatkan (dari pendidikan formal dan ajaran seperti agama) sehingga feedback negatif tersebut bisa terhenti. Tetapi, ketika sebuah pandangan bahwa proses pembelajaran yang seharusnya didapat dari pendidikan orang tua dan formal tidak cukup, dan malah lebih mengutamakan pembelajaran menggunakan konsekuensi akibat dari perbuatannya, dimana hanya lingkungan yang bisa memberikan konsekuensi-konsekuensi tersebut, maka pengalaman yang berasal dari lingkungan tersebutlah yang akan menjadi fokus pembelajaran dengan menitikberatkan pada konsekuensi yang bersifat duniawi (pengalaman, sebab-akibat, karma). Karena fokus mereka pada lingkungan inilah yang bisa membuat mereka aktif menciptakan lingkungan dengan konsekuensi-konsekuensinya. Padahal, justru lingkungan jualah yang telah menciptakan feedback-feedback negatif dimana artinya lingkungan adalah hal yang tidak bisa dipercaya dalam sebuah proses pembelajaran. Ketika konsekuensi/pengalaman menjadi sangat dibutuhkan sekali untuk pembelajaran, pelanggaran yang terjadi dalam penciptaan konsekuensi tersebut akan tidak terlihat. Seorang kakak misalnya, melihat adiknya tidak mau menurutinya sebagai kakak yang lebih tua, maka sang kakak menghukum adikya dengan menjahili dan tidak mau berbagi dengan adiknya. Ketika sang kakak kemudian tidak menuruti orang tuanya dan lolos dr hukuman, sang adikpun mendapat feedback negatif akan mudahnya ketidakadilan terjadi. Di kemudian hari sang adikpun menjahili kakaknya sebagai jawaban atas feedback negatif yang diterimanya, yang berarti kenakalan sang adik malah menjadi-jadi. Disini gue melihat permasalahannya bukan pada ketidakadilan, tapi bagaimana peraturan ditegakkan dalam sebuah lingkungan kecil seperti keluarga, dimana hukuman atas pelanggaran yang terjadi tidak bisa dilakukan oleh sembarang anggota keluarga seperti seorang kakak yang tidak mempunyai kewenangan. Apabila hukuman ditegakkan dengan benar dan hukuman tersebut cukup dirasakan, maka hal negatif yang dilakukan akan bisa dirasakan sebagai hal yang tidak boleh dilakukan, sehingga bukan feedback (untuk melakukan kejahilan) yang dia terima tapi tuntunan dalam pengambilan keputusan di kemudian hari (feedback juga terjadi apabila hanya reward dan kepositifan yang diterimanya setelah melakukan hal yang negatif dimana akan menghilangkan sense kenegatifan dari hal yang negatif). Permasalahan seperti diatas didalam lingkungan keluarga sangat lumrah terjadi, tetapi apabila hal tersebut dibawa sampai kelingkungan luar dimana setiap orang tidak mempunyai keterkaitan yang khusus dan jelas, kompleksitas permasalahan akan menjadi tidak terkendali. Setiap orang bisa "memberi pelajaran" kepada orang lain karena dianggap/dinilai melakukan kesalahan padahal hal tersebut diluar kewenangannya. Keaktifan pada pendewasaan negatif pada akhirnya sangat mudah disesatkan karena solusi yang dijalankan hanya akan menciptakan spiral permasalahan yang baru seperti adanya hukuman yang ga jelas (feedback negatif). Bahkan terkadang keaktifan ini bisa mentrigger dia untuk menghukum dirinya sendiri atas kesalahan yang dia lakukan. Makanya, edukasi mengenai peraturan negara dan agama oleh ortu atau sistem pendidikan formal dengan kurikulumnya yang kaku adalah yang terpenting daripada mengenal konsekuensi duniawi (pengalaman, sebab-akibat, karma) dalam pembelajaran mengenai mana yang benar dan salah (apalagi kalau konsekuensi duniawinya terlalu mengada-ada sehingga tidak logis dan tidak ada dalam hukuman dan peraturan didalam agama dan negara). Apabila konsekuensi duniawi tersebut yang dijadikan bahan pelajaran, maka hasilnya bisa saja main hakim sendiri, yang akan semakin menjauhkan diri kita dari ajaran agama dan peraturan yang ada dengan mempercayai hal lain seperti misalnya mempercayai sistem karma.  

Proses pendewasaan negatif berpikir bahwa dunia berputar karena adanya kompetisi yang membuahkan kemenangan dan kekalahan, dimana pemenangan kompetisi tersebut adalah hasil tipu muslihat dan kecurangan. Akibatnya, pada proses pendewasaan negatif terdapat konsep bahwa selama masih ada kompetisi dan rencana-rencana yang menyimpang, maka dunia masih berputar dan masih ada hari esok. Kedewasaan pun dilihat sebagai kemampuan melakukan hal yang jahat,  menyimpang, terselubung secara terkendali (terkendali disini maksudnya bertanggung jawab atau tertanggung jawab). Disini terlihat permasalahan utama dari proses pendewasaan negatif, dimana kedewasaan yang diwujudkan dengan berbagai tipu muslihat dan kecurangan, dimunculkan dengan penampilan yang positif, yaitu dengan nuansa kepentingan bersama/demi kebaikan/pembenaran, dan juga dengan penampilan positif bahwa semua orang bisa mendapatkan kemenangan tersebut. Jadi, pada orang dengan pendewasaan negatif, didalam diri mereka, mereka meyakini kompetisi, dimana ada yang kalah dan ada yang menang, tetapi tampilan luar yang mereka persembahkan justru adalah kebalikannya, yaitu kemenangan untuk semua orang (zero competition) akibat adanya persepsi "tanggung jawab" yang terkendali. Ketidakkonsekuenan inilah yang membuat proses alami tidak berjalan dengan semestinya sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasarkan proses pendewasaan negatif menjadi abu-abu dan apa yang dianggap terkendali sebenarnya tidak terkendali. Tidak terkendali karena biasanya pada pendewasaan negatif kendali tidak berada ditangannya akibat mengandalkan kemasivan atau kekuatan dari luar dirinya/lingkungannya. 

Salah satu contoh ketidakkonsekuenan dalam tipu muslihat yang bisa terjadi akibat pendewasaan negatif misalnya tindakan licik(smart) berpura-pura sebagai orang yang bodoh/lemah/rendah untuk mendapatkan hal yang lebih, dimana sebenarnya perbuatan tersebut sangat tidak bersesuaian. Ketika kita berpura-pura bodoh atau rendah, kita ga seharusnya minta/mendapatkan hal yang lebih (kalau kita minta lebih itu namanya mengakali dan menjadikan orang dimana kita merendah sebagai lawan kita yaitu orang yang kita akali). Kalau permainan pintar ini yang kita mainkan, kita harus sudah yakin siapa yang sedang kita tipu dan apa bisa menipu dia (kalau agama gue sudah jelas siapa-siapa yang kita tidak usah berurusan, baik dijadikan lawan atau kawan, dalam suatu urusan). Sudah seharusnya yang namanya tipu muslihat, kecurangan dan kebohongan dilakukan dengan kesadaran bahwa hal tersebut tidak menghasilkan kebaikan untuk kita atau orang lain sehingga kesadaran tersebut akan menimbulkan kewaspadaan. Dan bukan hanya itu, didalam kompetisi dengan pendewasaan negatif kita hanya terfokus mengalahkan sesama kita saja sehingga menciptakan pandangan bahwa "dia" dan "masalahnya" adalah yang menjadi objek utama dalam suatu permasalahan, dan bahwa "aku" dan "kelebihanku" adalah yang menjadi subjek utama dalam suatu perbaikan. Akibat dikotomi ini, pemikiran strategis tidak terbentuk dan malah mengarah pada perpecahan. Kita menjadi tidak berusaha untuk mengetahui siapa sebenarnya yang harus kita lawan, yaitu, siapa yang (membuat kita) menyalahi peraturan dan ajaran serta nilai-nilai yang ada (menerobos pertahanan strategis untuk sistem tempat kita bernaung). Kita juga menjadi tidak sadar akan siapa yang sedang kita tipu dan siapa yang berusaha kita outsmarting(akali) dari kepura-puraan yang dilakukan. Pada akhirnya, kompetisi dengan proses pendewasaan negatif tidak mengarahkan orang untuk terdeferensiasi (karena semuanya ingin mencapai satu titik yang sama yaitu kesuksesan), tapi malah terdeviasi (dari aturan, nilai dan ajaran yang umum dimasyarakat), sehingga menyebabkan rusaknya sistem kompetisi yang alami dan teratur. Jadi alih-alih sebuah kendali melalui keteraturan (less complex), deviasi inilah yang malah menimbulkan kebutuhan akan kendali melalui ketidakteraturan (more complex). Inilah biasanya yang menjadi pintu masuk bagi aliran sesat, organized crime, premanisme dsb.

---------------------------------------------------------------------------------
Off the topic: Ada seribu satu cara menciptakan ketidakteraturan dari sebuah keteraturan dan cara-cara ini dilakukan dengan sangat kreatif seperti sebuah permainan akrobatik yang sangat menarik. Salah satu cara adalah dengan menimbulkan/menampilkan karakter yang bersesuaian dengan kondisi chaos dan menegatifkan karakter yang tidak mendukung kondisi chaos. Misalnya saja, orang yang introvert, pendiam, tidak bergaul diasosiasikan dengan tindak kejahatan tertentu. Padahal, banyak dari pelaku tindak kejahatan tersebut mempunyai follower atau kelompok yang jumlahnya tidak sedikit, dan juga mempunyai ambisi yang tinggi dan tidak sungkan dan malu untuk menerjemahkan ambisi tersebut menjadi kenyataan. Kalau masalah tidak mau berinteraksi dengan lingkungan, tidak sedikit contoh anggota geng yang bahkan tidak peduli dan cenderung bermusuhan dengan lingkungannya, dan anggota geng tersebut biasanya bukan termasuk orang introvert apalagi pendiam (menurut gue seseorang masuk ke kelompok tertentu biasanya karena perasaan insecure ditambah ambisi yang tinggi). Sementara itu, lawan kata dari introvert dan pendiam dianggap lebih preferable, yaitu ekstrovert dan banyak bicara. Ketika yang ekstrovert dan banyak bicara tersebut kurang memahami batasan yang membatasi elemen lingkungan dengan elemen privacy, maka karakter tersebut bisa diarahkan untuk mendukung chaos. Begitu juga dengan spontanitas, ketika spontanitas adalah hal yang preferable karena memebuat kita lebih cepat melesat maju, efek samping dari spontanitas jadi terlupakan. Ketika spontanitas dilakukan tanpa proses berpikir dulu atau tanpa proses mengenal si objek spontanitas, maka spontanitas tersebut bisa diarahkan untuk mendukung chaos. 

Terkadang bahkan membutuhkan pancingan untuk menimbulkan karakter yang mendukung chaos. Agama pun seringkali dipergunakan sebagai pancingan. Dengan  iming-iming akan menghasilkan kebaikan, si A dengan kesengajaan memberi contoh atau suri teladan akan hal atau perbuatan yang tidak baik. Misalnya saja, si A memberi contoh kepada si B atau khalayak bahwa dia bisa berubah dari tidak baik menjadi baik. Apalagi kemudian dia dianggap sebagai contoh suri teladan yang benar yang harus diikutin. So ramai-ramailah orang menganggap berbuat yang tidak baik tidak apa-apa, asalkan nanti bisa menjadi baik lagi. Gue sendiri menganggapnya sudah ga bener kalau si A mau saja menggembar-gemborkan pengalaman pribadinya untuk menjadi panutan atau contoh seakan-akan kita sebagai umat beragama kekurangan contoh atau suri teladan. Masalahnya, siapa yang menilai perubahan tersebut serta baik buruknya perbuatan dia ketika yang ada cuma sebatas cerita dan informasi dari seseorang?  Apakah hal yang didasarkan pada cerita dan informasi seperti itu sudah cukup pantas menjadi contoh atau suri teladan? Bagaimana dengan sahabat Nabi seperti Umar r.a., bukankah beliau sudah cukup menjadi contoh dan suri teladan? Kenapa ingin yang lebih/lain? 

Terkadang orang dengan mudahnya dimanipulasi untuk memberi pelajaran/contoh/suri teladan atas hal yang tidak baik dan terkadang hal ini bisa menjurus ke tindak pelanggaran. Biasanya hal ini berhubungan dengan persepsi bahwa dunia ini keras dan kejam, makanya kekerasan dan kekejaman harus diajarkan sehingga orang menjadi terbiasa dengan keras dan kejamnya hidup. Keras dan kejamnya hidup ini adalah gambaran dunia yang chaotic dan mengajarkannya tanpa point yang jelas dan pegangan yang jelas malah akan menambah situasi chaos. Misalnya saja, ketika mendapat informasi bahwa si B terlalu baik dan pasif, si A pun memberi contoh hal-hal yang tidak baik dan terlalu aktif sampai-sampai dia melakukan hal-hal yang diluar batas kendalinya (hal-hal yang mendukung chaos). Contohnya lagi yang lebih berbahaya adalah ketika si A mendapat informasi bahwa si B tuh payah karena tidak berani membalas perlakuan ga jelas yang diarahkan kepada si B, si A pun menghina si B yang menurutnya payah tersebut dengan menghadiahkannya dengan anak ayam dan mencontohkan bagaimana caranya membalas dan melawan yang ga jelas. Walhasil, si A tidak hanya mengajarkan yang namanya balas dendam, tapi juga mengajarkan bagaimana bertingkah konyol dan menjadi agen chaos. Sekali lagi gue katakan kita sudah punya suri teladan dan contoh yang sebaik-baiknya yaitu Nabi dan para RasulNya, dan setauk gue mereka tidak gegabah membalas serangan ga jelas dan aniaya dari kaum jahiliyah. Untuk apa dengan sengaja memberikan contoh dan suri teladan yang tidak sejalan dengan Nabi dan RasulNya? Keberanian tersebut harusnya dilihat dari bagaimana para Nabi dan RasulNya berani merebut dan mempertahankan tanggung jawab terhadap hal yang diembankan kepada mereka dan bukan keberanian balas membalas. Lagipula, coba deh disimak lagi siapa yang pengecut, orang jahiliyah ini kan mainnya keroyokan, dalam situasi yang timpang ngambil kesempatan dalam kesempitan untuk berlaku aniaya, terkadang juga main belakang dan selalu berusaha membunuh para Nabi dan Rasul secara diam-diam dan tersembunyi, bukankah mereka yang sebenarnya pengecut?

Gue rasa tidak perlu seseorang menjadikan dirinya atau orang lain sebagai contoh atau suri teladan, perbuatan kita lebih baik diniatkan saja untuk mencari jalan yang lurus dan diridhoi Allah SWT. Niat tersebut sudah cukup daripada kemudian berbuat yang aneh-aneh dengan menampilkan apa-apa yang dianggapnya baik sementara yang jelek ditutup-tutupin hanya supaya bisa menjadi contoh dan suri teladan yang baik, takabur nanti padahal belum tentu ilmunya cukup. Niat untuk mencari jalan yang lurus dan diridhoi Allah SWT saja sudah cukup sulit dikerjakan apalagi kalau ditambah niat untuk menjadi contoh dan suri teladan yang baik. Yakin dan PD mampu mengemban amanah sebesar itu? 

Orang pun sangat mudah dimanipulasi untuk sesuatu yang dirasakan invisible. Para agen chaos juga biasanya diarahkan untuk merasakan objeknya sebagai sesuatu yang invisible, sesuatu yang dirasakan tidak tampak, sehingga kewenangan mereka terhadap yang dirasa tidak tampak tersebut bisa full dan overly done (semena-mena). Ketika perilaku yang overly done terhadap hal yang dirasa tidak tampak ini menjadi kebiasaan, maka hal-hal yang tidak tampak lainnya seperti keyakinan dan kesetiaan kita pada agama dan negara juga pada akhirnya digoyang dengan tindakan semena-mena (sekehendak hati...seenak hati....sesuai dengan hatinya). Tindakan yang bersifat invisible pun akan dibiarkan merajalela, seperti fitnah, kemunafikan, pengkhianatan dan sebagainya. (Gue sudah banyak melihat contoh kehancuran yang diakibatkan serangan yang visible seperti yang disini misalnya, tapi serangan yang invisible, bentuk kehancurannya seperti apa?)  

---------------------------------------------------------------------------------

Masalah kompetisi berfeedback negatif ini juga bisa menjelaskan perilaku para pengikut dalam aliran sesat. Pada aliran sesat para pengikutnya bertindak/berpura-pura sebagai orang yang lemah dan bodoh kepada pemimpinnya dengan mengikuti semua kehendak, arahan dan inisiatif pemimpin tersebut (give) bahkan dengan melanggar batasan dan aturan yang ada (give), tapi dengan mengharapkan yang lebih yaitu supaya impian-impian(cita-cita) mereka bisa terwujud (get). Secara tidak sadar mereka menempatkan pemimpin mereka sebagai lawan yang mereka akali. Ibaratnya menaiki sepeda tandem, maka para pengikutnya tidak berusaha untuk ikut menggenjot sesuai dengan arah yang mereka inginkan tetapi mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pemimpinnya yang sebenarnya mempunyai tujuan tersendiri. Seakan-akan mereka berusaha mengakali pemimpinnya untuk dapat sampai ketujuan pribadi mereka. Kalau pemimpin mereka cukup pintar untuk memanipulasi mereka dengan perasaan positif (senang, tentram) maka hal ini akan membuat mereka menjadi tidak sensitif dan tidak memiliki keprihatinan terhadap hal yang negatif yang membuat perlawanan mereka hilang akibat merasa bahwa tujuan hidup sudah tercapai. Selain itu, perasaan positif ini pun membuat mereka sudah merasa benar, karena memang perasaan tersebut yang diperjelas dan diperkuat (get), sehingga, ketika mereka diminta untuk melakukan pengorbanan dan kesetiaan, pertahanan mereka pun hilang (mereka tidak lagi menggunakan ajaran dan aturan yang umum berlaku). Akibat dari ini semua yaitu, lemahnya pertahanan dan perlawanan, ketergantungan mereka terhadap pemimpinnya (lawan) semakin besar, yang membuat mereka membutuhkan lebih banyak lagi pengorbanan (give) dan mengikuti (give), merekapun melupakan cara berpikir strategis. Apalagi, sejalan dengan ini, kompetisi juga akan terdorong terus karena mereka mempunyai impian dan cita-cita yang umum (sama) yang ingin mereka wujudkan sehingga memandang sekitarnya sebagai lawan. Ketika pertahanan hilang, perlawanan hilang, permainan kompetisi semakin kuat, dan mereka hanya melakukan pengorbanan-pengorbanan dan mengikuti pemimpinnya, yang sebenarnya merupakan lawan mereka, sehingga melupakan cara berpikir strategis, maka akhir dari hal ini bisa sangat tidak menyenangkan.


Proses pendewasaan negatif memang sangat rentan terhadap pengaruh kesesatan yang berhubungan dengan keyakinan, karena mereka meyakini membutuhkan perbuatan yang tidak baik/jahat/kuat tersebut untuk bergerak maju, dan ini berarti mereka akan pergunakan alasan apapun (termasuk keyakinan) dalam mendasari perbuatannya tersebut. Akibatnya, keyakinan adalah sebuah kebutuhan hidup yang "dipakai"  sebagai alasan pembenaran untuk menjalani roda kehidupan. Padahal, keyakinan tuh sejatinya tidak sama dengan kebutuhan hidup (kebutuhan agar kita bisa hidup) karena kita dituntut untuk mempertahankan keyakinan tersebut dengan hidup kita sendiri. Mungkin gue akan pakai keyakinan orang jawa aja ya, mangan ora mangan ngumpul (makan atau tidak makan kumpul) sebagai contohnya untuk menjelaskan perilaku pada pendewasaan negatif terhadap sebuah keyakinan (keyakinan orang jawa gue pakai karena lebih mudah penjelasannya daripada keyakinan agama, dan karena gue sendiri keturunan jawa dimana keyakinan yang paling mudah yang gue tauk ya cuma perkataan itu, tapi bukan karena ingin menjelaskan keyakinan apalagi perilaku orang jawa). Pada pendewasaan negatif, dengan berpegang pada keyakinan tersebut, ketika ada yang susah mangan, mereka akan secara aktif (maksudnya aktif adalah dengan cara cepat) menghilangkan/mengucilkan yang susah mangan tersebut dengan alasan demi mendapat manfaat dan akibat yang baik (pengorbanan/mentokin orang). Seakan-akan keyakinan tersebut bisa dengan "kesengajaan dihilangkan" atau dirubah menjadi "tidak harus ngumpul". Tapi, ketika dirinya yang susah mangan, mereka akan secara aktif pula (dengan cara cepat) menggunakan keyakinan tersebut untuk membuat dirinya menjadi gampang mangan bahkan dengan melakukan tindakan terhadap orang-orang yang gampang mangan (pengorbanan pula/mentokin orang  pula).  Seakan-akan keyakinan tersebut bisa dengan "kesengajaan ditimbulkan" atau dirubah menjadi "harus kumpul". Pendewasaan negatif melakukan tindakan-tindakan yang transisional terhadap keyakinan dimana keyakinan tersebut bisa hilang dan muncul dan hal tersebut dibenarkan karena sesuai dengan kondisi dan keperluan. Semangat kebersamaan yang sebenarnya dijunjung tinggi pada keyakinan tersebut pun akhirnya hilang karena keyakinan tersebut ternyata hanya "dipakai" saja (seperti baju yang merupakan kebutuhan hidup sehari-hari) untuk mendatangkan manfaat sebagai pembenaran atas tindak-tanduk yang mereka lakukan. Dari sini bisa kita lihat juga pengaruh kompetisi pada pendewasaan negatif yang memberikan kecenderungan pada mereka untuk menggunakan cara aktif yang cepat (dengan melanggar penegakan aturan dan hukum, nilai dan ajaran). Kecepatan inilah yang terkadang tidak tepat karena ketepatannya ditujukan untuk sebuah tujuan dan bukan ketepatan pada aturan dan hukum, nilai dan ajaran yang umum dimasyarakat. Kalau orang jawa bilang alon-alon asal kelakon (nah kalau ini gue memang menjelaskan keyakinan orang jawa), pelan-pelan asal selamat, dimana keyakinan orang jawa adalah untuk tidak menggunakan cara-cara cepat yang tidak tepat tersebut (kehati-hatian seperti itu biasanya ditujukan untuk hal yang keras atau getas, seperti pot tanah liat, dan bukan untuk hal yang lembek dan fleksibel seperti karet yang mudah ditarik sana-tarik sini).       


Kompetisi dengan proses pendewasaan negatif sangat bergantung pada hal-hal yang cepat membawa mereka kepada tujuan mereka. Makanya kompetisi ini lebih menghargai informasi dan kemasifan daripada mengasah kemampuan dan keterampilan, karena informasi dan kemasifan adalah cara cepat untuk membuat mereka bisa selangkah lebih maju (up to date) dalam melakukan aksinya. Apalagi sekarang adalah jamannya informasi tanpa batas, sehingga siapa yang mendapat dan menguasai informasi-informasi lebih dahulu maka dialah yang terdepan. Dengan informasi tidak perlu lagi asahan kemampuan karena informasi bisa memberikan kita kemampuan yang kita inginkan. Makanya kita seharusnya tidak bisa percaya begitu saja dengan pemberi informasi, karena informasi tersebut ibaratnya jalan tol super cepat yang panjang, kita ga tauk pasti ujungnya ada dimana.  


Proses pendewasaan negatif juga menciptakan suasana saling percaya antar sesama manusia yang tidak wajar. Pada proses pendewasaan negatif, saling percaya timbul akibat persengkokolan dalam melakukan penyimpangan atau pelanggaran atas aturan dan ajaran yang berlaku. Saling percaya dan keterikatan dipaksakan timbul karena salah seorang misalnya melakukan kesalahan dan yang lain merahasiakannya. Tapi justru inilah yang menimbulkan rasa percaya tersebut defektif karena mempercayai orang yang sudah melanggar kepercayaan/keyakinannya sendiri. Karena rasa percaya yang defektif tersebutlah mereka merusak rasa saling percaya yang harusnya ada dalam bermasyarakat sehingga mereka menjadi takut untuk melangkah tanpa adanya dukungan dan sokongan yang masiv. Kalau menggunakan perumpamaan yang disebutkan pada tulisan Mengenai Penyesatan (Bag. 2) maka pendewasaan negatif membuat orang menjadi lebih mudah untuk menjadi penumpang di dalam sebuah kereta daripada menjadi pengendara mobil akibat hilangnya rasa percaya pada aturan yang umum yang berlaku.  

Singkat cerita, pendewasaan dengan feedback negatif diakibatkan krn orang lebih mempercayai kemampuan lingkungan sekitar untuk mendidik dan pembelajaran, lebih mempercayai pengalaman yang berasal dari lingkungan daripada pengamalan aturan, nilai dan ajaran yang sebenarnya sudah ada dan bisa dipelajari disekolah atau dirumah yang bisa dimulai dari diri sendiri. It's like going back to the stone age, dimana segala sesuatu hanya bisa dipelajari dari lingkungannya. (Terkadang gue pikir manusia memang ingin balik kejaman batu ketika orang yang makan binatang yang menjijikkan tanpa diolah lebih dulu dianggap hebat dan memenangkan kompetisi, memangnya manusia ga punya otak apa untuk mengolah makanannya terlebih dulu?)       



"Betty, you wouldn't believe what I've just heard as I headed back home..."

0 comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites Gmail More