Those who would give up Essential Liberty to purchase a little Temporary Safety deserve neither Liberty nor Safety. Benjamin Franklin
Alkisah disebuah hamparan padang rumput ada koloni semut yang sangat giat bekerja membangun sarangnya sehingga tinggi menjulang ke angkasa. Semut-semut ini selalu bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka, tapi mereka tidak puas hanya sampai disitu. "Sarang ini sempit, penuh sesak, kita harus bisa membangun yang lebih besar lagi, agar kita semua bisa merasakan kenyamanan" kata salah satu diantara mereka. "Tapi sarang ini sudah terlalu tinggi, kita tidak bisa membawa materialnya keatas, sudah terlalu jauh," jawab salah satu semut. Merekapun berpikir keras bagaimana caranya agar bisa membangun sarang yang lebih nyaman. Tiba-tiba seekor gajah lewat didepan mereka dan gajah itu berkata "wow sarang yang kalian bangun tinggi sekali, bahkan hampir melewati tinggiku." Melihat si gajah, si semut berbisik kekelompoknya, "hey, bagaimana kalau gajah itu kita berdayakan saja, dia bisa sangat berguna." Semut yang lain pun mengangguk setuju. "Tapi, bagaimana cara membujuknya supaya dia mau melakukan apa yang kita kerjakan, mengeruk tanah dan membawanya keatas?" Kelompok semut itu pun akhirnya berunding dan membiarkan sang gajah terheran-heran dengan sikap para semut. Akhirnya merasa dirinya dicuekin, sang gajah pun pergi meninggalkan para semut tersebut, dan memilih duduk dibawah pohon rindang. Ketika sedang beristirahat, tiba-tiba seekor semut datang dan berkata, "Lihat, kami ini para pekerja yang hebat, dengan jerih payah kami, kami bisa membangun sarang setinggi itu. Coba bandingkan kami ini dengan kelakuan kamu yang kerjanya cuma duduk-duduk aja." Si gajah pun terdiam saja mendengar perkataan sang semut. Melihat si gajah tidak bergeming, dia pun melanjutkan "Ah, kamu tuh gajah yang payah dan malas, ga punya kemampuan," dan si semut pun memberikan isyarat kepada teman-temannya yang bersembunyi dibelakang semak untuk membantu dirinya. "Ouw, awww, aduh! Apaan ini?" teriak sang Gajah kaget. Dia merasa ada yang menggigit bagian belakang tubuhnya, terasa pedas sekali. Gajah pun berdiri dan merasakan dikakinya penuh semut yang siap menggigit dirinya. "Kami akan terus menggigiti badanmu sampai kamu mau melakukan apa yang sedang kami lakukan, mengikuti perintah kami. Kami mau kamu membantu kami bekerja membangun sarang." Sang gajah pun berkata, "kalau tidak mau bagaimana?" "Kalau tidak mau mengikuti kami, maka kamu harus pergi dari sini, keluar dari padang rumput ini," jawab si semut. "Tidak bisa, ini kan tempatku," ujar sang gajah. "Kalau begitu, ikuti apa yang kami kerjakan supaya semuanya bisa nyaman dan aman," balas si semut. Akhirnya merasa dipojokkan, si gajah pun mengikuti keinginan si semut. "Ikuti saja apa yang kami lakukan, OK gajah?" ujar si semut. Gajahpun mengangguk. Sang Gajah pun akhirnya bekerja mengikuti apa yang dilakukan si semut, mengeruk tanah dan membawa tanah tersebut keatas sarang dengan belalainya. Untuk sementara, semut-semut ini pun penuh suka cita karena sarangnya menjadi lebih besar dan nyaman, berkat kerja sang gajah. Tapi, tidak berapa lama, hujan pun turun dengan derasnya. Sarang semut yang bagian atasnya terlalu berat pun akhirnya runtuh dan hancur berantakan. Dan tidak hanya itu, akibat pengerukan yang dilakukan si gajah, genangan air pun ada dimana-mana sehingga para semut ini banyak yang mati tenggelam.
Contoh kisah diatas menunjukkan bagaimana sistem komunal yang bergerak untuk kepentingan bersama bisa merusak atau menghancurkan sistem itu sendiri. Ketika entitas-entitas didalam sistem komunal tersebut merasa mempunyai kekuatan yang lebih (massive karena bergerak secara masal) dan melanggar aturan serta etika yang ada hanya karena kepentingan bersama, maka mereka mengundang kehancuran sistemik untuk terjadi. Aturan, etika dan norma ada untuk kepentingan jangka panjang ekosistem tersebut, makanya, ketika terjadi pelanggaran secara masal (walaupun korbannya cuma satu atau sedikit) tapi impact-nya besar untuk kelangsungan hidup mereka. Kisah tersebut juga menunjukkan bagaimana rasio manusia tidak bisa selamanya benar, dimana hal-hal yang dianggap sebagai produktif bisa menjadi sangat tidak produktif kalau kita tidak bijaksana dan tamak dalam menyikapinya. Si semut yang berjiwa sosial juga sangat hipokrit ketika yang mereka lakukan adalah perbuatan ekstrem yang mencerminkan perilaku anti-sosial mereka. Si semut yang berjiwa sosial menyangka bahwa dengan menghina dan memojokkan gajah yang individualis dia bisa mendapat keuntungan besar. Mereka merasa lebih pintar dan kuat sehingga melawan sifat-sifat alami dari ekosistem mereka serta melanggar aturan dan norma yang berlaku, hanya karena sebuah pemikiran dan ide bahwa semua harus menuruti kehendak yang sama. Tidak adanya pemimpin yang definitif tapi hanya pemimpin struktural atas pergerakan yang dilakukan dan hanya mendasari pada kepentingan dan kehendak bersama, mencerminkan bagaimana longgarnya arti sebuah tanggung jawab. Pada akhirnya terbukti bahwa hanya karena mereka mendapat dukungan si Gajah dan menerima pemberian si Gajah, bukan berarti mereka berhak menerima apa yang si Gajah berikan.
Tapi tunggu dulu, apa sebenarnya yang terjadi pada kumpulan semut tersebut ketika Gajah pergi untuk beristirahat dibawah pohon yang rindang? Ternyata ketika si semut sedang berunding, datanglah Bison. Bison menghasut semut bahwa si gajah adalah binatang yang anti sosial dan tidak mau menolong. "Gajah hanya mementingkan diri sendiri dan mau enaknya aja," bisik Bison. "Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya semut sedikit senang karena Bison ada dipihak mereka. "Lakukan dan katakan apa yang aku bisikkan pada kalian ke gajah tersebut..." dan Bison pun membisikkan sesuatu ke telinga para semut, para semutpun akhirnya mengangguk setuju. Di akhir cerita, Bison yang ternyata pawang hujan bersorak gembira karena rencananya berhasil. "Akhirnya hamparan tanah dengan air yang mengalir ini menjadi milikku. Hahaha...hohohoho..." Tinggalah para semut menyesali tindakan mereka karena hasil tidak wajar yang mereka terima dengan melakukan ketidakwajaran harus dibayar dengan mahal.
Nah, kisah diatas adalah kisah negeri semut, untungnya kita semua hidup di negeri dengan azas Pancasila yang artinya semua perbuatan kita bernapaskan sila-sila dalam Pancasila. Dan bukannya menempatkan Pancasila sebagai utopia dan tujuan hidup yang harus diraih bahkan dengan cara-cara yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD yang sudah kita yakini bersama.
Lagipula, kisah ini tentunya membuat kita berpikir mengenai bison, gajah aja digituin apalagi semut???
0 comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.