Setelah habis milih-milih baju yang mana yang akan digunakan untuk berlebaran, apa memakai baju yang lama atau baju yang baru, kemudian milih mau jalan-jalan kemana di akhir minggu lebaran...akhirnya tiba saatnya milih hal yang lebih berat lagi...milih pemimpin untuk kota Jakarta!
Milih pemimpin memang tugas yang berat, kalau salah milih, bukannya rakyat yang selangkah lebih maju, malah dapet langkah seribu berlari meninggalkan segudang masalah. Pemilih adalah para individual yang sudah dewasa, dimana pengetahuan, nilai dan persepsi akan permasalahan yang ada sudah terbentuk melalui sebuah proses panjang, sehingga semua hal tersebut sudah melekat erat dalam pemikirannya yang dapat dipakai dalam mengambil keputusan. Pemilih diharapkan bukan orang yang mudah diperintah dan didoktrin seperti anak kecil, dimana yang benar dan yang salah hanya berdasarkan perkataan saja, dan mudah mempercayai impian-impian idealis yang disampaikan. Seorang pemilih yang dewasa akan menyikapi dengan bijak, sekat-sekat, perbedaan dan permasalahan yang ada, dengan tidak mengacuhkannya dan tidak melibasnya dengan sebuah langkah tidak membumi yang penuh idealisme, simbolisasi dan impian seakan-akan perbedaan dan sekat-sekat tersebut tidak ada dan tidak pernah ada didalam kehidupan bermasyarakat. Sekat-sekat, perbedaan dan permasalahan harus digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dengan menyikapinya dengan sikap tenggang rasa, kepedulian dan menghormati antar sesama manusia agar ketentraman dalam bermasyarakat dapat terjaga. Isu SARA yang dihembuskan (hembusan terlalu halus sebenarnya, karena isu SARA ini dipakai untuk menggempur habis-habisan persepsi masyarakat Jakarta) di masa pemilihan gubernur Jakarta ini, seakan-akan mengkriminalkan sebuah pemikiran akan sisi Jakarta dimana justru kaum yang dianggap mayoritas dan penduduk aslinya masih sering termaginalkan dan masih timpang dalam hal ekonomi dan pendidikan. Kaum yang dianggap mayoritas ini kepentingannya masih dianggap belum tercukupi, sehingga diharapkan dengan mengangkat pemimpin yang berasal dari mereka, maka gap dan ketimpangan yang terjadi dapat diminimalkan (dan meminimalkan gesekan yang masih sangat rawan terjadi). Sementara itu, untuk kaum yang dianggap minoritas, sejak jaman reformasi sudah cukup banyak sebenarnya hal yang dilakukan untuk menghormati kepentingan kaum minoritas, jangan sampai hal tersebut dirusak dengan langkah grasak-grusuk yang secara picik mengangkat isu SARA.
Lagipula, sebagai pemilih, ada banyak faktor yang menjadi alasan untuk memilih figur tertentu yang tidak bertumpu hanya pada rasio saja. Walaupun kita bisa menggunakan rasio untuk menyelesaikan problem hidup, tapi tetap saja rasio tersebut harus dibatasi dengan nilai-nilai yang kita miliki. Sehingga, faktor keyakinan, agama dan nilai-nilai yang kita pegang selama ini seharusnya juga dapat berpengaruh dalam memilih siapa pemimpin Jakarta nantinya.
Kerusuhan di Sampang bisa dikatakan tindakan berdasarkan isu SARA, tetapi, pemilih yang menggunakan nilai dan keyakinannya ga bisa diplintir dan disalahkan dengan menggunakan isu SARA. Pemilih adalah seorang individu dewasa, dan mereka berhak memilih berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai yang mereka miliki karena hal tersebut adalah hal yang legal. Mereka toh tidak melakukan tindakan lain (baik tersembunyi maupun terang-terangan) yang bisa merusak pilkada seperti menghasut, intimidasi, teror dan lainnya. Di negara paman Sam aja, faktor agama sering menjadi bahan perdebatan dalam pemilihan pemimpin mereka (mereka mendebatkan masalah agama gereja mormon yang dimiliki salah satu kandidatnya). Dan, mereka tidak melihat hal tersebut sebagai masalah SARA, melainkan kesiapan warganya menerima figur dari agama gereja mormon tersebut yang merupakan minoritas, karena, walaupun Amerika cukup liberal kalau dilihat dari kacamata orang kita, tapi mereka tetap melihat agama sebagai faktor yang kritikal dalam pemilu mereka dan merupakan bagian dari pandangan kritis mereka, akan nilai-nilai yang mereka miliki. Nah, jika kesiapannya yang dilihat, maka, apakah warga Jakarta sudah siap dipimpin oleh figur yang berasal dari kalangan minoritas? Jawabannya tentu harus secara real tergambarkan dari apa yang ada di lapangan dan bukannya melulu hasil survey. Hasil survey tidak menjawab hal real seperti: apa warga Jakarta yang mayoritas bisa menjamin dan menjaga keamanan warganya yang minoritas akibat dari gesekan yang mungkin timbul akibat pemilihan ini sehingga warga minoritas tidak perlu lagi sibuk menjaga lingkungannya dengan mendirikan portal-portal dan pagar-pagar yang tinggi di kota Jakarta? (Survey menggunakan sampling dan gue bukan fans dari teknik-teknik statistik seperti sampling apabila hal yang disampling terlalu crucial dan kompleks. Sampling dilakukan untuk menentukan tindakan yang tepat bagi keseluruhan populasi. Karena targetnya adalah keseluruhan populasi maka sampling harus acak, jumlahnya cukup dan bisa merepresentasikan populasi. Individu atau sekelompok orang dipilih untuk menjadi objek atau sasaran experiment atas hal yang akan berpengaruh terhadap populasi yang ditargetkan. Sampling adalah "cara cepat dan mudah" untuk mendapatkan kesimpulan atas gambaran keseluruhan populasi, sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat bagi populasi tersebut.)
Gue cuma berharap masyarakat Jakarta tidak bisa dikerdilkan dan dengan mudahnya dibodohi dengan diberikan hanya "isu SARA" karena dua pilihan yang ada untuk masyarakat Jakarta, masing-masing ada alasan tersendiri untuk memilihnya. Ga bisa kalau dikatakan kita memilih si anu berarti masalah SARA sudah tidak ada di Jakarta, atau kita memilih si anu berarti kita pro terhadap sikap yang SARA. Kita menghargai masing-masing individu dengan tidak melakukan tindakan terhadap orang lain berdasarkan SARA tanpa dasar dan peraturan yang jelas. Kita juga tidak bisa ikut campur mempengaruhi kebebasan seorang individu dalam menggunakan haknya, baik dengan intimidasi berupa perkataan maupun perbuatan karena hal tersebut adalah bentuk teror. Teror berisu SARA yang terjadi belakangan ini memang tidak berhubungan dengan pilkada DKI, tapi timingnya sangat tepat untuk mempengaruhi keputusan warga Jakarta dengan persepsi yang bisa merugikan dan membelah kedua kubu sehingga tercipta suasana yang tidak sehat dan tidak produktif. Di satu kubu isu SARA mendeskriditkan agama dan menyudutkan kubu tertentu, sementara di kubu yang lain bisa saja merasa sedang diteror.
Off the topic: gue mau bicara sekali lagi soal teror. Kriminalitas yang terjadi di lingkungan masyarakat biasanya berupa pengambilan hak seseorang secara paksa yang berwujud fisik atau materi yang dilakukan perorangan atau berkelompok, sehingga, persepsi yang fisik dan materi ini dapat jelas tertangkap oleh masyarakat dan masyarakat paham benar bentuk-bentuk kriminalitas ini. Pencurian, pemerasan, penyuapan, pengrusakan sampai kriminalitas berat seperti korupsi dan pembunuhan sudah cukup dipahami bentuk-bentuknya oleh masyarakat beserta hukumnya. Teror adalah tindak kriminal yang masih belum jelas dasar hukumnya apalagi yang bersifat individual dan perseorangan karena bukti yang dihasilkan sangat minim. Bukti yang minim tersebut karena teror menyerang (usaha untuk merusak, mengambil, mengubah dengan paksaan) fitrah seseorang yang tidak mempunyai wujud fisik seperti jati diri, pemikiran, psikologi (emosi dan perasaan), nilai, perilaku dan keyakinan. Teror bisa dibedakan dengan kriminalitas biasa karena adanya pengulangan (tindakan yang berulang-ulang) kepada satu target. Teror yang melibatkan masyarakat luas (dimana masyarakat luas sebagai pelakunya atau targetnya) biasanya sudah terorganisir dengan baik dan para pelaku biasanya hanya menjalani perintah atau mengikuti orang lain. Teror memang tidak bertujuan mengambil materi atau uang dari korbannya, bahkan pelaku teror biasanya malah harus mengeluarkan dana untuk aksinya, walaupun demikian, akar masalah atau penyebab dari tindak kejahatan teror mungkin karena masalah ekonomi juga, yang dibungkus rapi dengan tujuan-tujuan yang mulya dan baik. Makanya, sumber dana dan bagaimana para pelaku mendapatkan dana dan fasilitasnya adalah hal yang penting dalam mengusut tindakan terorisme ini. Menurut pendapat gue pribadi, pelaku teror adalah orang-orang yang tidak puas atas hasil ciptaan Tuhan atau kuasa Tuhan, sehingga mengambil jalan pintas untuk mengubah psikologis, nilai dan keyakinan orang lain dengan cara-cara paksaan. Cara-cara paksaan maksudnya dihadapkan langsung, face to face, dengan sikap dari keyakinan mereka tapi dengan konsekuensi targetnya tidak bisa mengelak atau melawan karena ketidakjelasan tindakan dan serangan yang dilakukan (teror mungkin membuat kita bertanya dan meragukan orang lain, ini kawan atau lawan?). Teror merancukan pemikiran kita akan siapa the real enemy is karena tendensi dan persepsi kita sudah dirusak oleh teror tersebut. Kita selalu dibuat mengira-ngira apa sebenarnya tujuan (yang tidak jelas atau tersembunyi) dari tindakan teror tersebut. Ok, back to topic.
Hal yang lebih penting sebenarnya daripada mengangkat isu SARA ini, adalah bagaimana program dan kesiapan dari masing-masing kandidat dalam memimpin Jakarta kedepannya. Apakah Jakarta akan dirubah dengan menggunakan jalan pintas dengan memanfaatkan fasilitas dari pihak lain sehingga dapat membebani Jakarta dan independensinya di masa mendatang? Apakah Jakarta akan dirubah secara drastis sehingga Jakarta bisa jadi kehilangan akar budayanya dengan kehilangan cagar budayanya? Bagaimana sikap para kandidat terhadap para pemilihnya, yaitu warga Jakarta sebagai stakeholder dalam pembangunan kota Jakarta, apa akan disingkirkan dan diasingkan begitu saja (secara damai atau paksaan tetap saja namanya disingkirkan) atau diajak berperan serta? Ingat kalau Jakarta, walau menyandang status sebagai ibukota RI yang representatif terhadap keberagaman RI secara keseluruhan, tetapi Jakarta harus tetap sebagai Jakarta yang mempunyai kekhasan tersendiri. (Salah satu kandidat memang khas banget betawinya, tapi kandidat lainnya mengusung kekhasan yang mengingatkan gue pada video klip lagu "The Lazy Song"-nya Bruno Mars).
Kalau dilihat dari incumbent atau bukan, pastinya masing-masing bisa punya argumennya sendiri. Yang incumbent memang ga sempurna, tapi, masih banyaknya pendukung yang mempercayai dan berharap akan kepemimpinanya membuktikan dia memang layak sebagai pemimpin. Sementara itu, yang bukan incumbent dapat memberikan harapan dan impian yang baru dari yang sudah didapatkan warga Jakarta selama ini.
Yang juga sangat penting adalah, bagaimana seorang pemimpin harusnya bisa bekerja secara independen, tanpa dibayang-bayangi tekanan, intimidasi atau ancaman dari kubu-kubu yang membawa kepentingan kelompok atau perorangan. Kalau kondisi tersebut tidak tercapai, maka percuma saja kita bicara dan berdiskusi panjang lebar mengenai maslahat bangsa, karena kebijakan yang diambil tidak akan atau tidak bisa berpihak pada rakyat. Ketika seorang pemimpin berkata "saya mendapat tekanan" atau "saya terus diganggu bisikan-bisikan" atau "ada yang terus mengikuti saya", maka hal tersebut jangan dianggap sebagai paranoia dari pemimpin tersebut, melainkan ancaman serius dalam kehidupan bernegara. Seorang pemimpin adalah orang yang bisa dimintai pertanggung jawabannya akan kebijakannya memimpin rakyat, sementara rakyat harus mau dipimpin dan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pemimpin tersebut dalam menjalankan kewajibannya. Apa iya rakyat dapat dibebankan tanggung jawab penuh ketika pada kenyataannya, rakyat bisa lari kocar-kacir, tapi pemimpin tidak mungkin melakukan hal tersebut (hal ini seharusnya menjadi pertimbangan akan bentuk demokrasi yang kita inginkan).
Nah, kalau rakyat dan pemimpinnya kemudian yang selalu kemasukan pengaruh dan unsur asing, bagaimana sebuah wilayah dapat tetap menjadi tempat berlindung dan memberi lingkungan yang kondusif? Aturan dan hukum memang dapat melindungi warga negaranya, tapi ancaman dari luar adalah persoalan lain, persoalan wilayah. Seperti sebuah keluarga dimana terdapat suami, istri dan anak. Apabila suaminya terus menerus memberi peluang akan kebebasan dan kemandirian kepada anggota keluarga lainnya, sehingga, istrinya selalu membayang-bayangi kepemimpinan suaminya dengan kekuasaan dan pengaruh dari luar yang dimilikinya, atau anak terus menerus memakai peluang kebebasan yang dimilikinya untuk membawa masuk pengaruh dan unsur dari luar, apa jadinya keluarga tersebut?
Akhir kata, disini gue tambahkan artikel dalam bahasa inggris yang memperlihatkan kesuksesan dan kegagalan beberapa kota besar di dunia:
Chicago: http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,1193833,00.html
Stockton, California: http://www.cbsnews.com/8301-201_162-57461273/stockton-calif-to-become-largest-city-to-declare-bankruptcy/
Moscow: http://www.askmen.com/top_10/travel/top-10-public-transit-systems_2.html
Tokyo: http://www.askmen.com/top_10/travel/top-10-public-transit-systems_1.html
1 comments:
Jakarta kok jam 5 lewat 10 sudah mulai terang ya...biasanya ga pernah seterang ini kalo masih jam 5, wah, perlu pindah ke WITA nih Jakarta. Kacau....
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.