once is happenstance. twice is coincidence. the third time it's enemy action. Unknown
Kegembiraan perayaan Idul Fitri kemarin agak sedikit terusik ketika salah satu sanak famili ibu gue meninggal dunia. Sepupu dari ibu gue sebenarnya yang memang sudah lama terbaring di RS, tapi kita datang melayat. Kejadian tersebut mengingatkan gue kalau semasa SMA dulu gue pernah mengalami kejadian yang serupa, hanya saja waktu itu gue sedang merayakan malam tahun baru 1995. Tengah malam gue ditelpon sama temen gue yang mengabarkan berita duka. Salah seorang teman sekelas meninggal dunia dalam usia yang masih terlalu muda. Sebuah kecelakaan didanau telah merenggut teman gue yang terkenal baik dan pendiam itu, seorang anak laki-laki berinisial MI yang duduk dua bangku dibelakang gue dan belum sempat gue kenal lebih jauh selain dari apa yang dikatakan orang (karena sama-sama pendiam gue ga pernah terlibat komunikasi sama dia, tapi hanya dengan melihat wajahnya yang peaceful gue tahu dia orang yang baik dan ramah). Jelas saja hal tersebut adalah berita yang sangat mengagetkan karena setahu gue dia sedang melakukan acara tafakur alam yang diadakan organisasi keagamaan yang dia ikuti. Gue ga tauk bagaimana kejadiannya sampai bisa merenggut nyawa seseorang, wallahualam, semua menganggap hal tersebut adalah kecelakaan murni dan harus ikhlas melepas kepergian teman saya itu. Hanya saja, dia masih terlalu muda. Memang bukan cuma sekali saya mendengar seseorang meninggal dalam usia muda karena kecelakaan, hampir tiga tahun setelahnya, tahun 97, saya juga mendengar anak kost yang baru pindah seminggu ke tempat kost gue, adiknya meninggal dalam kecelakaan motor. (Saya baru sadar kalau teman sekelas gue dan teman kost tersebut punya akhiran nama yang sama, "nu" tapi cuma kebetulan nampaknya).
Musibah yang beruntun menimpa bumi kita ini juga seakan menyadarkan kita bahwa waktu kita terbatas. Ketika terjadi gempa bumi di Aceh yang menyebabkan tsunami dan menewaskan sebagian penduduk Aceh, saya berkunjung ke RS untuk menjenguk sepupu jauh saya yang menderita kanker. Dia masih duduk di bangku kuliah, baru beberapa semester dia jalani dan harus pasrah dengan vonis kanker yang dideritanya. Saya ingat kita cukup terpana melihat kejadian di Aceh tersebut melalui kotak kecil di sebuah kamar RS. Melihat banyaknya korban, baik anak kecil maupun dewasa, menyadarkan kita bahwa ajal bisa menjemput kapan saja, bahkan ketika dalam keadaan sehat sekalipun. Yang sakitpun belum tentu akan mati, masih ada perjuangan untuk mendapatkan kesembuhan. Walaupun untuk sepupu perempuan gue tersebut, perjuangannya harus berakhir selang beberapa tahun kemudian.
Ya, ajal memang bisa menjemput kapan saja, sebuah makna yang terlihat murni. Tapi, kematian adalah juga sebuah kejadian yang merupakan konsekuensi dari kejadian berantai sebelumnya, baik itu secara langsung ataupun tidak langsung. Makanya ketika terjadi sebuah tindakan kriminal yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, seorang penyidik akan melacak kejadian-kejadian yang terjadi sebelum perkiraan waktu kematian dari si korban. Karena, dari kejadian-kejadian tersebut terdapat petunjuk mengenai penyebab, motif dan mungkin pelaku kejahatan. Ketidakmampuan mengidentifikasi motif akan menghasilkan tuntutan yang salah, gagal mengidentifikasi pelaku kejahatan, kejahatan dapat berulang. Yang kayak begini ga bisa dibebankan ke korban untuk mengambil hikmah sebuah kejadian. Apalagi bawa-bawa ilmu karma segala. (gue kirim komen mengenai karma disalah satu halaman situs ini). Apalagi kalau pelaku yang diminta pertanggung jawaban ternyata salah tangkap dan mengangap masalah selesai, semakin runyam saja nanti permasalahannya. Ada alasan kenapa aturan perlu ditegakkan, salah satunya karena yang terlihat baik belum tentu benar. Positif thinking mungkin bagus untuk kesehatan, tapi bukan untuk kemaslahatan.
Tapi kalau masalah menyerempet ajal, pengalaman pribadi adalah pengalaman yang paling berharga. Gue udah pernah cerita ketika tahun 2004 gue hampir menjadi korban teror bom kedubes Australia, dan kemudian yang terakhir ini, pertengahan tahun 2008, ketika gue terkena infeksi di kelenjar getah bening gue dan sempat drop beberapa kali karena darah gue sudah keracunan. Beberapa kali keluar masuk RS juga memperlihatkan ke gue banyak pasien sekamar yang keadaannya lebih parah dari gue atau memang sudah menjadi frequent visitor ke RS. Satu yang gue inget adalah seorang ibu muda yang sebenarnya tampak sehat, tapi tidak bisa beranjak dari tempat tidur karena sesuatu menyerang tulang punggung bagian belakangnya, nampaknya dia sudah dalam hitungan bulan di RS. Dia salah satu karyawan perusahaan penerbit nasional yang terkenal. Tapi dia masih bisa bersyukur biaya RS bisa ditanggung perusahaan, soalnya kalau tidak, kebayang mahalnya biaya RS sekarang, belum lagi dia mempunyai anak yang masih kecil.
Sebenarnya kematian dapat terjadi karena natural atau unnatural cause. Ada garis tersamar yang membatasi antara natural dan unnatural cause tersebut. Perlu ketajaman berpikir untuk melihat garis tersebut dan menentukan apa yang menjadi penyebab dan apakah perlu dilakukan suatu tindakan. Tindakan atas sebuah permasalahan yang menyangkut nasib seseorang atau orang banyak, tentu tidak bisa dilakukan sembarangan dan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang yang mempunyai otoritas atau pemegang amanah yang dapat melakukan tindakan tersebut. Tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang-orang suruhan dengan alasan mendapat izin dari otoritas atau pengemban amanah (atau lebih buruk, dengan kongkalingkong dibawah tangan) dan dengan sebuah pembenaran atas rasionalisasi yang sudah ditanamkan di benak mereka. Kenapa? Coba bayangkan kalau orang-orang yang posisinya lemah diberikan power yang berlebih dan cuma berbekal rasionalisasi. Alasan yang sederhana sebenarnya, tindakan mereka tidak bisa dipertanggung jawabkan, amanah tidak bisa dipindah-tangankan. This is when the corrupt mind goes along the way. Padahal, mereka seharusnya bisa (dan mampu) mengurai masalah dan menjadi alarm atas adanya permasalahan dan bukan menjadi bagian atas masalah tersebut kalau memang mereka tidak ingin diam. Diam tapi berada di jalan yang benar mungkin jauh lebih baik daripada aksi mengatasnamakan kebaikan. Rasio terkadang menyesatkan, yang salah bisa menjadi hal yang baik.
Ketika terjadi bencana alam tanah longsor misalnya, banyak dari kita menyalahkan hal tersebut pada curah hujan yang tinggi. Ada lagi yang menyalahkan penduduk sekitar (yang menjadi korban) yang ternyata selesai berpesta pora sehingga mendatangkan bencana. Akibat perkataan yang "baik" tersebut masalah tidak pernah selesai, karena tindakan apriori dilakukan dengan persepsi yang salah. Ditambah lagi kalau masalah tersebut kemudian ditempelin oleh orang-orang yang bisa melancarkan fitnahan atau memperkuat fitnahan tersebut. Orang-orang yang tidak berkepentingan selain kepentingannya sendiri. Percayalah, mereka tidak akan capek-capek mengecek aturan yang seharusnya berlaku (apalagi masalahnya), just bump and go.
Bencana pun akhirnya terus berulang, bahkan berpotensi menjadi bencana yang lebih besar lagi. Disini mulai terlihat dampak aksi yang dilakukan. Untuk sebuah kepentingan, manusia dengan gampangnya dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk menjadi bagian dari masalah. Pada akhirnya hal tersebut akan merugikan manusia-manusianya sendiri yang sudah diuntungkan, karena adanya pengabaian akar masalah berbuntut panjang. Setelah ditilik, ternyata akar masalah dari tanah longsor tersebut adalah adanya penebangan liar yang menyebabkan gundulnya hutan di bukit-bukit yang mengelilingi pemukiman penduduk. Ketika penduduk yang bersangkutan tidak diberi tahu akan aksi apa yang telah dilakukan di balik hutan rimba tersebut, karena, para penggundul hutan tersebut berhasil membungkam masalah dengan berbagai macam alasan, penduduk tersebut akan menjadi outsider dari masalah yang terjadi. Pure innocence victims create a perfect crime. Banyak nyawa tak berdosa pun melayang akibatnya, tapi masih saja mereka meminta korban. Demi keamanan katanya. Lalu, siapa yang akan menghukum kejahatan? Mungkin saja oleh orang yang menginginkan kejahatan ini dilakukan.
Lalu, kenapa kematian menjadi momok yang menakutkan padahal tidak ada manusia yang dapat menghindarinya. Terkadang orang bahkan mencari resep mujarab atau mantra ajaib untuk dapat hidup lama. Meyakini reinkarnasi atau kelahiran kembali setelah kematian.
Bahkan menginginkankan dunia baru, sebuah utopia yang penuh kedamaian padahal mungkin kita tidak ada didalamnya (mungkin malah menuju Rest in Peace atau RIP). Berikan saja hi-five ke dimensi kelima dan bye ke dunia kita kalau kita selalu berharap lebih. L;ima, pintar sekali, angka yang tinggi untuk sebuah dimensi baru. Sesuatu yang terdengar indah dan fancy juga belum tentu mengarahkan ke hal yang lebih baik, sesuatu yang baru memang sangat menarik.
Coba saja baca artikel ini, mungkin saja kita bisa jadi muda terus dengan cara yang disebutkan di artikel ini. Heran ada yang mengkomentari penemuan tersebut dengan "astute idea"....hiiy syeram.. .
Tapi tetap saja, ada orang yang bersusah payah mewujudkan keinginan untuk bunuh diri sampai memanjat tiang sutet segala. Gue rasa orang-orang yang ingin bunuh diri adalah orang yang mudah menyerah pada keadaan, hal yang sama dengan orang yang "mampu" melihat tindakan bunuh diri sebagai sebuah pilihan (walaupun bukan untuk dirinya sendiri). Bunuh diri adalah juga sebuah ide, sama seperti reinkarnasi, immortality dan hal lainnya yang menyangkut pembangkangan terhadap takdir manusia. Ide-ide tersebut memang dapat mempengaruhi jalan pemikiran seseorang, tapi tetap saja, ide adalah bukan solusi. Ketika orang berfikir bahwa penanaman ide adalah sebuah solusi, mereka cenderung tidak melihat kondisi nyata yang terjadi dilapangan atau bahkan perbuatan apa yang sebenarnya telah mereka lakukan. Terbawa terus oleh ide-ide yang berkembang tidak terkendali. Makanya terkadang kita melihat bagaimana sekelompok orang yang terlibat dalam sebuah aliran sesat dapat melakukan bunuh diri masal. Mulai dari menggalang dana, penyesatan dan menjaga kerahasiaannya, melakukan ritual-ritual tidak berdasar sampai meminta pengorbanan alias tumbal dimana setelah semua ritual dijalankan bunuh d;iri masal pun dilakukan. Mereka tidak melihat perbuatannya adalah hal yang salah alias tidak sesuai dengan ajaran agama mereka, keyakinan mereka tinggi sekali akan ide-ide yang mereka miliki. Kira-kira apa ya makna kehidupan bagi mereka yang sudah membengkokkan takdir, apakah mereka sadar bahwa karena ide-ide yang membuka kemungkinan seluas-luasnya tersebutlah yang membuat mereka sekarat? (Off the record, ide yang paling ridiculous yang pernah gue denger yaitu pengalaman seseorang dapat dibuat dan ditanamkan, seperti pohon yang berada di sebuah observatorium...seperti banyaknya permainan yang dapat dinaiki pada sebuah taman bermain...OMG! Pengalaman seseorang adalah juga menyangkut takdir seseorang, apakah wajar mereka bereksperimen dengan arahan dan pergerakan yang tidak jelas sumbernya bahkan tidak ada atau bertentangan dengan ajaran-Nya? Apa mereka merasa takdir seseorang belum cukup "sempurna" sehingga harus campur tangan?).
Ya, mengerikan bukan kalau kehidupan seseorang dibuat artifisial. Setiap perbuatan dan perkataan yang dilakukan kepada seseorang tersebut dikendalikan untuk tujuan yang lebih baik dan dengan alasan yang masuk akal. Untuk mendapat kesempurnaan dari makna kehidupan. Walaupun berasal dari sesuatu yang artifisial, tapi yang pentingkan hasilnya. Benarkah? Seperti menggunakan hujan buatan yang memang ditujukan untuk hal yang lebih baik, tapi sebenarnya kita sudah mengganggu keseimbangan alam. Hujan di tempat yang diinginkan, tapi tidak hujan di tempat lainnya. Titipan Tuhan bukan untuk dititipkan kepada pengendali lain yang akhirnya membuat orang hilang kendali, bahkan atas nasibnya sendiri. Tapi itulah yang dilakukan manusia yang takut jika tidak mempunyai kepastian atas kehidupannya. Belum lagi sistem karma yang dianut oleh orang-orang ini sehingga mereka berhak mengadili orang diluar ketentuan yang berlaku. Mungkin mereka harus mempertimbangkan ilmu mereka yang belum cukup dan kenyataan kalau "niat" adalah hal yang sangat sulit diukur karena memang hanya Tuhan yang tauk (menimbang atau mengukur tingkat spiritualisme seseorang, bagaimana caranya?). Tapi, ibaratnya taman bermain dengan lampu-lampunya yang menarik, banyak sekali para pengunjung yang dengan senang hati mencicipi pengalaman artifisial tersebut.
Terkadang perjuangan menjadi bagian dari kehidupan baik kita inginkan atau tidak, dan terkadang perjuangan tersebut dapat merenggut nyawa. Masih ingatkan waktu reformasi dulu ketika beberapa nyawa para demonstran melayang, padahal ada beberapa dari pendemo yang tidak terlalu serius dalam berdemo juga merasakan timah panas. Atau, masih ingatkan kejadian beberapa tahun lalu di Iran ketika kita melihat seorang perempuan muda merenggang nyawa dijalanan ketika sedang terjadi demo, namanya Nada. Ya, perjuangan memang mengandung resiko dan kita sudah harus menyadarinya sebelum berbuat sesuatu dalam sebuah pencapaian. Sebenarnya, kehidupan adalah juga sebuah perjuangan yang tergantung dari nilai-nilai yang dimiliki seorang individu. Perjuangan yang berlandaskan agama pastilah harus didasarkan atas nilai dan ajaran yang terdapat di dalam agama tersebut. Perjuangan yang berlandaskan kebangsaan harus didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila dan UUD. Kalau gagal mengerti apa nilai-nilai yang diperjuangkannya, atau hanya melihatnya setengah-setengah, perjuangan tersebut akan seperti pepesan kosong, ga ada manfaat yang dapat diberikan, atau kalau memang bisa dicari-cari manfaatnya, maka ruginya pasti lebih banyak. Kalau sudah merugi begini, pasti solusinya tambal sulam karena manusia takut untuk menghadapi konsekuensi kerugian yang akan diderita. Padahal, solusi tambal sulam akan membuat kerugian yang jauh lebih besar lagi, seperti menciptakan lubang hitam yang akan menarik semua orang kedalam lubang tersebut. The show goes on, awalnya sebuah titik hitam, terus berkembang menjadi lubang hitam. Lalu, dimana letak perjuangannya untuk mereka yang membutuhkan lubang hitam ini dan menjadi tawanan kalah perang?
Tapi, entah kenapa mati dalam usia muda semakin menjadi trend akhir-akhir ini dan banyak yang meninggal secara mendadak, baik karena penyebab yang natural maupun yang tidak natural. Pertanda apakah gerangan? Kalau mau pakai logika dan pengalaman di negara maju, maka semakin maju peradaban, rata-rata usia kematian seharusnya semakin panjang, benarkah?
Pada akhirnya, setiap orang pasti akan mati. Walaupun demikian, setiap orang mungkin berbeda-beda memaknai hari terakhirnya didunia ini. Hal tersebut tergantung sikap mereka terhadap arti kehidupan yang mereka jalani semasa hidup. Untuk yang senang memprediksikan takdir dan kehidupan, ada banyak situs web di Internet seperti Death Date bermunculan akhir-akhir ini yang bisa menghitung tanggal kematian. Tinggal isi form dan tekan tombol... muncullah tanggal kematian kita. Tapi perlu gue ingatkan, meyakini prediksi ini adalah salah satu bentuk menyekutukan Tuhan atau syirik yang merupakan salah satu dosa besar.
So lastly, what's the point of Life?
The Last Dinosaurs
1 comments:
makna terakhir = cara untuk memastikan tidak akan terjadi lagi / tidak terulang lagi sesuatu kejadian. Kira2 bagaimana caranya ya?
Salam!
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.