Perubahan memang selalu terjadi seiring dengan waktu. Terkadang perubahan sifatnya natural sehingga memakan waktu yang lama dan proses perubahan yang perlahan, tapi terkadang pula bersifat tidak natural sehingga memotong proses dan waktu yang dibutuhkan menjadi sangat cepat bahkan untuk perubahan yang cukup besar. Penemuan-penemuan baru yang dihasilkan manusia sedikit banyak menghasilkan perubahan yang tidak natural. Penemuan-penemuan tersebut pada umumnya mendatangkan manfaat yang besar untuk manusia tetapi kompleksitas dari dampak yang ditimbulkan terkadang tidak bisa terukur sehingga manfaat tersebut bisa berbalik arah menjadi merugikan. Ketika manusia kemudian menjadi tamak dan dengan keidealannya ingin mendapat manfaat yang sebanyak-banyaknya, dampak yang tidak terukur tersebut akan menjadi bumerang seiring dengan waktu dan proses perubahan yang dihasilkannya. Makanya dampak pengrusakan (yang kita kenal juga dengan perubahan) ini pula berlangsung melalui proses yang lama dan perlahan.
Dampak yang terjadi bukan hanya dampak lingkungan tapi juga dampak pada manusianya itu sendiri. Hal ini karena pada umumnya orang tidak mau mengerti bagaimana penemuan tersebut bisa terjadi, mereka hanya mau mengerti eksistensi dari penemuan tersebut dan manfaatnya saja karena hal tersebut adalah yang paling mudah. Dulu ketika sebuah penemuan baru hanya sebatas wacana yang berkumandang mungkin sebagian orang akan menertawakannya atau menihilkannya karena mereka sulit mempercayai sesuatu yang tidak eksis (tidak tertangkap oleh indra mereka). Mereka menertawakan hal yg tidak eksis tersebut krn cara pandang mereka bahwa eksistensi lebih penting dari pengetahuan (meremehkan pengetahuan). Seperti misalnya penemu yang menginginkan manusia bisa terbang, orang-orang di zaman dimana belum ada pesawat terbang mungkin menganggap keinginan tersebut sebagai mimpi yang aneh dan lucu, bahkan mungkin mentertawakan eksperimen yang dilakukan penemu tersebut. Tetapi, penemu yang mengerti bagaimana bisa mewujudkan keinginan tersebut, menggunakan ilmu pengetahuan yang dia miliki, pada akhirnya bisa mewujudkannya.
Penemu melihat keinginan tersebut bukan sebagai mimpi tapi kalkulasi dari ilmu yang dimiliki. Penemu mewujudkan hal yang tidak ada menjadi ada melalui proses panjang menyerap ilmu pengetahuan yang ada. Bagi sebagian besar orang, secara intrinsik, mereka akan menolak sesuatu yang tidak eksis (makanya sebagian besar orang mengejar eksistensi mereka didunia). Sekarang di zaman modern, sifat kebanyakan orang yg dulunya menertawakan penemu dan "impian"nya, mengalami perubahan akibat gempuran eksistensi dari hal yg sebelumnya tidak eksis (hal yg dianggap impian). Di zaman ini, gempuran atas hal yg awalnya impossible untuk eksis lalu kmdn menjadi eksis, membentuk kebanyakan orang utk dg mudah mempercayai sesuatu yg dianggap impian atau impossible. Kita percaya manusia bisa terbang hanya karena kita melihat manusia bisa terbang dengan pesawat, walaupun alam bawah sadar kita masih meyakini hal tsb impossible atau tdk sesuai nalar. Kita dengan mudah mempercayai sesuatu (yg sebelumnya tidak ada atau dianggap impossible) hanya karena eksistensinya atau keberadaannya dan mengeliminasi proses panjang yang dibutuhkan. Seiring dengan waktu dan banyaknya penemuan yang membuka mata kita, kita pun kemudian dengan mudahnya mempercayai sesuatu yang belum ada seperti impian, perencanaan, ramalan, harapan, ideal karena kita tauk manusia bisa mewujudkannya, karena ada orang-orang yang bisa mewujudkannya. Dengan kata lain kita mempercayai sesuatu karena adanya kemungkinan akan ada yang mewujudkan eksistensinya didunia ini.
Kita sudah terlalu banyak melihat hal yang impossible menjadi possible di zaman modern ini dengan sangat mudahnya, sehingga kita menganggap kemungkinan terwujudnya impian tersebut adalah keniscayaan. Kita pun menganggap sesuatu yang ideal, perencanaan, ramalan, impian, harapan dari manusianya akan bisa selalu terwujud (bisa mendapat kepastian). Pengalaman hidup kemudian membuktikan banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi. Pengalaman ini kemudian menjadi lebih benar daripada ilmu, nilai dan norma yang dimiliki. Ketika pengalaman lebih berat proporsinya dari ilmu pengetahuan maka orang di zaman modern akan cenderung membuka keran kemungkinan sebesar-besarnya. Kemungkinan yang belum terjadi inilah yang dinamakan peluang atau kesempatan. Bahkan ketika
ada yang bisa memastikan kemungkinan akan hal yang belum terjadi, maka
jaminan kepastian tersebut akan terjual laris manis ditengah kurangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki. Kesadaran akan adanya gap pengetahuan hilang akibat euforia manfaat yang sebanyak-banyaknya yang dihasilkan oleh perubahan dan penemuan yang baru. Bahkan euforia terkadang menghilangkan kebutuhan akan ilmu pengetahuan itu sendiri dan menggantinya dengan informasi. Misalnya saja, seorang penemu menciptakan robot yang bisa masak. Orang lain bisa menciptakan robot yang sama ketika dia mendapatkan informasi mengenai rancang bangun dari robot tersebut beserta program yang dibutuhkannya tanpa perlu mengerti proses awal menterjemahkan bahasa logic ke mesin/sirkuit dan mesin ke bahasa expression. Dia hanya perlu informasi daripada ilmu pengetahuan yang mendasarinya untuk terlihat hebat. Karena informasi seperti ini terbatas maka yang terbatas ini bisa dijual dan sesuatu yang bisa dijual adalah peluang. Inilah peluang yang menjual kalkulasi dan usaha para penemu.
Yang kemudian menjadi permasalahan adalah ketika dengan mudahnya orang beramai-ramai menjanjikan sesuatu yang mereka sendiri ga bisa pegang dan bahkan terkadang diluar domainnya. Bukan hanya itu, orang-orang yang sebenarnya hanya bisa mempercayai sesuatu karena eksistensinya (akibat pengetahuannya belum mature) sekarang mulai bisa bermimpi hanya karena ada orang lain yang mereka percayai, bisa memasok impian (terkadang berupa ramalan, perencanaan, harapan, visi-misi, ideal) tersebut. Impian, ramalan, perencanaan, harapan, ideal dan visi-misi adalah hal yang belum dimiliki oleh seseorang, sehingga yang diawang-awang (tidak jelas) tersebut tidak lain adalah sebuah titik lemah yang intrinsik dari orang-orang yang hanya mempercayai eksistensi.
Titik kelemahan orang yg sangat mempercayai eksistensi adalah hal yg tdk eksis (hal yg mereka tdk percayai). Tapi titik kelemahan tsb sekarang malah diekspos sebagai pijakan tindakan (titik kekuatan) bagi mereka yang menerima(membeli) peluang jaminan kepastian akan hal yg ga eksis seperti perencanaan dan impian. Gue ga akan analisa lebih lanjut akibat apa yang bisa ditimbulkan ketika modal awal kita berupa peluang mengejar mimpi dan keidealan melalui informasi yang seperti ini, tapi menurut pendapat dan logika gue hal ini bisa sangat destructive.
Ini adalah paradoks ketika orang yang sangat mempercayai eksistensi, kemudian mengejar eksistensi mereka dengan membeli/menggunakan sesuatu yang tidak eksis seperti impian, perencanaan dsb. Jadi antara ada dan tiada. Paradoks seperti ini kompleksitasnya sangat tinggi dan diluar nalar gue untuk menjelaskan akibatnya. It's a twilight zone.
Ada banyak sekali derivatif peluang yang berasal dari eksploitasi sifat intrinsik manusia yang hanya mempercayai eksistensi atau keberadaan dari sesuatu. Perlu ditegaskan kalau sifat intrinsik adalah hal yang ada baik itu disadari atau tidak disadari. Salah satu derivatif tersebut adalah seperti yang sudah dijelaskan diatas yaitu dengan menciptakan peluang melalui impian (terkadang berupa ramalan, perencanaan, harapan, visi, ideal) tersebut. Derivatif ini kemudian dapat menciptakan derivatif baru misalnya dengan peluang melakukan markup (menilai tinggi) pada kondisi yang tidak dapat terkuantifikasi atau kondisi dengan ketidakjelasan tinggi sehingga penilaiannya bisa menguntungkan sebagian orang.
Segala sesuatu akan berusaha utk dikuantifikasi (dinilai), agar bisa dimarkup. Lebih parahnya lagi, untuk kondisi yang sebenarnya jelas dasarnya (terkuantifikasi) pun dapat dibuat ga jelas agar bisa dimarkup. Kondisi seperti ini sangat mudah digenerate dan diterima pada situasi paradoks seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pada kondisi seperti ini dimungkinkan nilai yang tinggi tanpa adanya leverage, tetapi akan sangat sulit dan malah menjadi anomali. Kesulitan inilah yang membuat apa-apa yang dinilai tinggi menjadi sangat mencolok mata dan membuat orang tidak sadar akan dasar penilaian yang ada. Contohnya nilai-nilai (values) yang ada dimasyarakat ketika pengalaman hidup yang terkuantifikasilah yang dijadikan dasar penilaian dimasyarakat.
Disini sebagian orang akan mempromosikan orang lain yang sudah mendapat leverage dengan mengukur secara kuantitas apa-apa yang sudah didapatnya atau dilakukannya. Yang mendapat leverage inilah yang kemudian diidolakan. Promosi sosok idola tersebut mengalir melalui arus informasi satu arah, sehingga mengubah pola pikir dan perilaku yang ada dimasyarakat (satu arah karena tidak ada yang cukup peduli dan berani untuk mengecek benar tidaknya promosi tersebut). Ketika nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat, referensi penilaiannya adalah orang-orang yang sudah dileverage tersebut, maka ketika orang-orang tersebut digoyang kekiri dan kekanan leveragenya, maka akan goyang pula masyarakatnya. Ketika orang menggunakan referensi penilaian berdasarkan pengalaman hidup seseorang atau aksi dan tindakan seseorang yang dikuantifikasi, maka dinamika hidup yang bergerak akan terus mengubah referensi tersebut. Padahal kuantifikasi selalu menimbulkan nafsu "more". Makanya orang yang berpijak pada pengalaman yang dikuantifikasi, tindakannya menjadi liberal, mereka tidak bisa komit dan akan terus bergerak relatif terhadap dinamika yang ada dan sangat rentan terhadap arus informasi. Ketika kita bicara "waktulah yg akan membuktikan (demi waktu)," maka kita percaya pada proses, sehingga kita akan menempatkan hal yg positif (benar) sebagai positif (benar) dan hal yang negatif (salah) sebagai negatif(salah). Tetapi ketika kita bicara "demi kuantitas," maka hasil-lah yang kita percayai dan kita akan menempatkan segala sesuatunya sebagai hal positif, yang artinya pula kita menghalalkan segala cara untuk mendapat hasil berupa manfaat yg sebanyak-banyaknya. Cara berpikir bahwa segala sesuatu ada sisi negatif dan sisi positifnya, adalah cara pandang atheisme karena bisa menempatkan hal yg positif sebagai hal yg negatif, dan hal yg negatif sebagai hal yg positif. Cara berpikir seperti ini bisa menempatkan agama sebagai hal yg mempunyai sisi positif dan sisi negatif (dan bukan absolut positif seperti yg seharusnya). Sehingga agama bisa dibedah untuk diambil hanya sisi yg dianggap positif saja(bermanfaat) dan yg dianggap negatif dpt dibuang. Cara pendidikan agama yg membedah agamanya seperti inilah yg sangat mengutamakan supremacy dari pemikiran manusia sehingga mereka bisa menentukan manfaat yg dibutuhkan tanpa perlu hal lain yg membatasinya secara absolut.
Pemikiran merekapun akhirnya hanya bertautan dengan hal-hal didalam agama yg dianggap positif(yg bisa terkuantifikasi). Inilah yg selalu menimbulkan paradoks di masyarakat.
Kuantitas sebagai penentu memang bisa berbahaya apabila domainnya secara inherent tidak dapat dinilai dengan kuantitas saja (bahkan seharusnya hanya dpt dinilai secara kualitatif). Secara ideal kuantitas dan kualitas memang bisa menyatu, tapi implementasinya sangat tergantung dari sisi lingkungannya yaitu manusianya. Karena manusia bukan hal yang ideal maka dua hal ini sangat sulit untuk disatukan seperti dua kutub magnet yang berbeda. Kuantitas akan mengorbankan kualitas ketika pertumbuhannya hanya mengandalkan kemampuan manusianya tanpa menggunakan aturan dan dasar yang ideal(mendasar). Contohnya emansipasi wanita, ketika masyarakat masih mempunyai keragu-raguan yang tinggi dan apriori terhadap sosok wanita, maka apabila kuantitas yang dijadikan acuan gerakan emansipasi, hasilnya akan seperti kartu deck yang jatuh beruntun. Kartunya memang masih banyak berserakan dilantai tapi sudah tidak tegak lagi. Secara kuantitas memang terlihat banyak sekali, tetapi ketika satu persatu mulai jatuh karena perkara yang cukup berat dan terekspos, keragu-raguan dan apriori masyarakat tersebut akan semakin terakumulasi. Apabila tidak ada koreksi yang terjadi, karena memang akumulasi keraguan adalah dampak yang tidak kelihatan wujudnya sehingga kalah dengan euforia kuantitas, maka persepsi masyarakatlah yang berubah. Yang tampak dan terlihat di masyarakat adalah euforia kuantitas tapi dialam bawah sadar keraguan terus terakumulasi. Jadi yg diragukan ini seperti ada dan tiada, eksistensinya diterima tapi tidak dipercaya sehingga keraguan ini justru berdampak pada meragukan sistem yg ada (negatif feedback). Sebagian orang, terutama yg sangat mempercayai eksistensi, sangat sensitif terhadap perubahan sesuatu dari yg tadinya tidak eksis menjadi eksis. Mereka menganggap perubahan tsb hasil dari campur tangan manusia menggunakan kekuasaan, tipu muslihat dsb.
Paradoks pun terjadi lagi karena ditengah ketidakpercayaan mereka pada sistem yg ada dan hal lainnya yg diragukan, mereka masih mempercayai eksistensi diri mereka sendiri didalam sistem yg ada sehingga mereka menjadi sangat aktif. Inilah yg menyebabkan mereka kemudian tidak peduli pada hal yg diragukan tsb selain aktif memanfaatkan eksistensinya dan ikut serta dalam euforia kuantitas. Gue cuma sedih aja ketika yang kuantitas ini memaksa perempuan untuk dipersepsikan sama seperti badut dengan kostumnya dan topengnya, diapresiasi hanya karena ikut memeriahkan suasana, sementara apa yang ada didalam topeng dan kostum tersebut tidak pernah diperhatikan dengan baik. Kenapa orang mau memperhatikan yang didalam topeng ketika dia jauh lebih bermanfaat dan berguna dengan topeng dan kostum yang dia pakai. Ketika ada permasalahan, maka diambilpaksalah topeng dan kostum tersebut dan dipertontonkan kerapuhan yang ada didalamnya. Perempuan-perempuan yang sudah tanpa tameng ini pun kemudian harus berhadapan dengan kecanggihan teknologi dengan arus informasi digitalnya. Lalu kemana hidungnya orang-orang yg sudah mendorong emansipasi tersebut? Persepsi seperti itukah yang harus ada untuk sosok seorang ibu, persepsi pahlawan bertopeng? Apakah seseorang yang membiarkan dirinya dimanfaatkan atau memanfaatkan orang lain bisa punya cukup kepedulian? Gue bicara psikologis disini, sosok seorang ibu harus punya kepedulian terhadap anak-anaknya, memanfaatkan perempuan dengan tamak dan tidak sesuai kodratnya akan punya konsekuensi yang besar untuk generasi y.a.d.. Mempunyai sosok ayah seorang pahlawan bertopeng saja sudah cukup menyulitkan untuk anak-anak (tanya deh anaknya si Spiderman) apalagi kalau ibunya ikutan jadi pahlawan bertopeng. Anak-anaknyapun akhirnya harus pakai topeng. Dan kepedulian pun akhirnya hanya berbicara mengenai manfaat dan keberhasilan topeng tersebut menyemarakkan suasana ditengah euforia yang ada. Amazing. Bahkan utk hal ini (memanfaatkan si anak), para ortu pun mendidik si anak dg
hanya mengapresiasi dan memuji anaknya, tanpa hukuman dan memarahi si anak ketika mereka berbuat kesalahan (si ortu melihat hukuman dan kemarahan adlh hal yg negatif dan tdk menghargai si anak, menimpa ajaran agama serta nilai nilai dan tradisi yg sdh lama ada di masyarakat sbg hal yg negatif).
Kasarnya, si ortu menjilati anaknya sendiri, dg selalu mengapresiasikan anaknya, agar si anak selalu bisa dimanfaatkan. Akhirnya krn "dimanfaatkan" dan diapresiasi sejalan seirama, si anak pun merasa senang utk selalu dimanfaatkan. Ini makanya anak-anak tsb dari kecilpun sdh bisa menyandang misi, dimanfaatkan dan dipergunakan utk tujuan tertentu sesuai skenario orang dewasa disekitarnya (gue sendiri sekarang cukup sering nemuin anak yg dimanfaatkan seperti ini). Si anak pun akhirnya tdk pernah mengambil keputusan sendiri (indecisive), selalu membutuhkan arahan dan tuntunan orang lain yg memanfaatkan dirinya (ketika anak tsb udah gede, bayangkan kebingungan yg terjadi dimasyarakat atas keputusan2 yg indecisive seperti ini). Si anakpun menganggap anak lainnya sbg ancaman utk dirinya krn menganggap anak yg lain tersebut bisa dimanfaatkan dan lebih diapresiasi menggantikan dirinya. Sehrsnya ortu seperti ini sadar klo "maju" tuh bkn berarti dimanfaatkan (ortu seperti ini berpikir klo ortu yg memarahi anaknya membuat si anak jadi "terbelakang", padahal klo terbelakang menurut mereka artinya "tdk maju utk dimanfaatkan", maka terbelakang is just fine by me).
But here is another paradox, seberapapun tereksploitasinya wilayah personal, tidak akan cukup bermanfaat ketika hanya sebagai penyemarak suasana. Bahkan hal-hal yang fungsional pun tidak akan cukup bermanfaat ketika fungsi tersebut ditujukan untuk menunjang penyemarak suasana.
Derivatif yang lain lagi yang muncul akibat eksploitasi sifat intrinsik manusia yang hanya mempercayai eksistensi atau keberadaan dari sesuatu (sesuai naluri mereka) adalah dibutuhkannya orang yang bisa menjadi pelindung dalam melakukan aktivitas keseharian. Mungkin kita biasa melihat yang seperti ini di pasar tradisional dimana kegiatan ekonomi berpusat. Tetapi hal ini punya batasan yang jelas dimana hanya aktivitas pasarlah yang dilindungi yaitu aktivitas yang hanya berurusan dengan uang. Hal seperti ini sudah berlangsung ratusan tahun dan berjalan tanpa masalah berarti karena batasannya yang jelas tersebut dan karena keduanya sejalan (pelindung vs eksistensi, pelindung memang tugasnya menjaga eksistensi, menjaga perputaran uang). Budaya yang terjadi adalah kemudian masyarakat menjadi permisif akan keberadaan pelindung atau yang kita sebut secara kasar premanisme. Masalahnya dizaman modern ini, karena kompleksitas yang ada, ternyata banyak orang membutuhkan pelindung yang aktivitasnya meluas dan tidak terbatas pada masalah perut saja, atau eksistensi. Mereka secara sadar atau tidak membawa pelindung mereka masuk kewilayah personal mereka, ke rumah-rumah mereka dimana di wilayah tersebut eksistensi mereka bukanlah hal yang utama. Wilayah personal tersebut sebenarnya wilayah dimana eksistensi mereka dipertaruhkan. Ada banyak hal di wilayah personal yang lebih besar dari manusianya itu sendiri, makanya menjaganya bukan persoalan mudah karena harus mempertaruhkan eksistensi manusianya itu sendiri.
Paradoks terjadi lagi ketika orang menjaga wilayah tersebut dengan mendapatkan kepastian eksistensi dirinya dan bukan mempertaruhkan eksistensi dirinya. Mereka bukannya mempertahankan wilayah yg personal tsb, malah berkompromi menjaminkan(menggadaikan) wilayah personal utk mendapat jaminan eksistensi dirinya.
Mereka menyamakan kedudukan eksistensi dirinya dengan eksistensi apa-apa yg ada diwilayah personal. Tarik-menarik kepentingan pun terjadi antara pelindung mereka dan apapun yang ada diwilayah personal tersebut. Apapun yang ada di wilayah tersebut harus ikut serta dimanfaatkan untuk mendapat kepastian eksistensi mereka yang berarti mengikuti keinginan pelindung mereka. Butuh keegoisan yang tinggi dari manusianya ketika demi mendapatkan kepastian eksistensi tersebut mereka harus memanfaatkan apa yang ada diwilayah personal. Untuk mereka yang membiarkan pengalamannya, ego dan informasi mengasah prinsip dan nilai yang mereka miliki, tarikan-tarikan kepentingan seperti ini tidak mereka rasakan lagi (ibarat mur yang sudah kendor akibat asahan yang terlalu kasar dan keras). Apalagi, pelindung eksistensi adalah orang yang hanya peduli dengan uang.
Pelindung seperti ini tidak bisa menjaga yg tidak memberi manfaat untuk mereka dan tidak eksis. Disini menjaga pada akhirnya akan sama maknanya dengan menimbulkan manfaat untuk apa-apa yang ada di wilayah personal. Inilah makanya kemudian kepedulian diukur dengan mengusahakan timbulnya manfaat (yg ujungnya uang). Akhirnya semua yang ada di wilayah personal tersebut harus dimanfaatkan, walaupun ini artinya mereka harus memakai topeng dan kostum sebagai penyemarak suasana. Merekapun berlomba-lomba mempertontonkan apa-apa yang ada diwilayah personal demi kemudahan yang ingin mereka dapatkan. Kekuasaan absolut dari pelindung eksistensi ini mulai tercium (kalau sensitivitasnya belum kendor) ketika hal yang negatif, yaitu memanfaatkan apa yang ada di wilayah personal demi sebuah eksistensi, menjadi positif. Padahal,
you just don't care enough untuk menjaga sesuatu, untuk memiliki amanah, kalau membiarkan wilayah personal ini dimanfaatkan. Disini pulalah ketika naluri ibu untuk menjaga anaknya dari hal yg negatif dan eksternal, berubah menjadi mencitrakan segala sesuatunya positif karena adanya pelindung tersebut, sehingga si anak dapat bersentuhan dengan kemungkinan dan kesempatan yang tak terbatas demi si anak tersebut. So, kids can be
whatever they want to be, ...yup
whatever. Kemungkinan dan kesempatan tak terbatas, ga ada yg lebih positif dari hal tsb. Asal tauk aja, sewaktu gue kecil sampai gede, ga pernah gue tinggal diJakarta ngalamin banjir didpn rumah gue, perubahan temperatur menjadi rendah, air yang dinginnya kayak di pegunungan, pagi yang terlalu dini, atmosphere yg terlalu kuning, gempa dimana-mana, tsunami, dsb seperti yang dialami anak jaman sekarang. Yah tapi, whatever lah.
Seperti yang sudah gue jelaskan diatas, ada sedikit orang yang bisa mewujudkan hal yang sebelumnya tidak ada karena kalkulasi dan pengetahuannya, dan, ada sebagian besar (orang kebanyakan), yang awalnya dengan naluri mereka menertawakan/menihilkan usaha tersebut (karena menganggap hal tersebut imajinasi dan mimpi yg impossible), walaupun kemudian mengikuti hal yang sebelumnya dinihilkan/ditertawakan hanya karena gempuran eksistensinya. Bahkan yang sebagian besar ini mulai mengikuti dan mengadopsi pemikiran yang sedikit ini, dengan mempercayai apa-apa yang tidak ada, hanya karena pengalaman dan naluri mereka bahwa yang tidak eksis tersebut (yg mereka sebut impian) dapat terjadi, karena akan ada manusia yg bisa mewujudkannya. Ini yg membuat orang di zaman modern banyak yg mempercayai bahwa ideal, impian, harapan, dsb dapat selalu diwujudkan. Mereka cuma mengenal "result" dan bukan prosesnya akibat gempuran eksistensi atas hal yg sebelumnya tdk ada. Makanya di zaman modern ini, gap antara dua tipe tersebut sudah sangat tersamar, walaupun, tetap saja perbedaan sifat dan psikologis yang utama dari keduanya masih ada. Perbedaan ini dapat terlihat dari cara mereka menghargai orang lain, sifat dualisme mereka, persepsi dan jangkauan penilaian mereka terhadap sesuatu hal. Stereotyping antara dua tipe ini ada karena manipulasinya ada dan berkembang dewasa ini. Tulisan ini tidak akan bicara kedua tipe tersebut, tapi hanya satu saja yaitu yang kebanyakan orang (mayoritas). Yang satu ini lebih menarik bukan hanya krn keumumannya, tapi juga karena ketika kita bicara mengenai tipe orang yang hanya bisa menerima sesuatu yang menurut naluri mereka eksis/ada/berwujud, kita melihat sifat follower terhadap eksistensi/keberadaan dan ini yang paling rentan terhadap manipulasi. Karena mereka ini follower, maka mereka dengan mudahnya menerima pengaruh eksternal dan dengan mudahnya mengagumi sesuatu.
Mereka bisa dimanipulasi untuk menghargai/menilai suatu subjek hanya dengan informasi saja (bahkan hanya dengan informasi searah saja) atau menghargai/menilai suatu subjek hanya dengan hal sepele seperti emosi, perasaan, keinginan dan impian. Makanya tidak heran kalau harga seorang manusia(yg menjadi subjek utama dlm kefanaan) menjadi sangat murah untuk mereka, dan kalau mengikuti pemikiran progresif maka mereka sedang menggadaikan hidup mereka sendiri setiap kali mereka mengisi perut mereka dengan informasi-informasi yang bisa digunakan utk menilai hidup manusia. Mereka memurahkan harga manusia padahal mereka sendiri juga manusia. Yang banyak pula inilah yang akhirnya selalu menciptakan paradoks-paradoks seperti disebutkan diatas akibat sifat dualisme mereka. Paradoks2 ini yang kemudian membingungkan masyarakat dibawah alam sadar mereka dan seperti sebuah lubang hitam, menarik apapun disekitarnya untuk masuk ke lubang hitam tersebut.
Derivatif-derivatif dari manipulasi sifat intrinsik manusia yang hanya bisa menerima sesuatu yang berwujud ini membuat manusianya menjadi melayang (ringan). Mereka mempercayai impian, perencanaan, ramalan, harapan, ideal dari orang lain sehingga mereka sibuk beraksi menggapainya. Mereka juga lebih mempercayai pengalaman-pengalaman mereka atau pengalaman orang lain (melalui informasi satu arah) sehingga pijakan mereka goyah karena dinamika hidup terus bergerak. Mereka memilih memakai topeng dan kostum agar bermanfaat bagi orang banyak sehingga membedakan dirinya dari orang lain dan menampikkan dirinya sendiri (dengan kesengajaan menciptakan jarak yang lebih jauh antara dirinya dan orang lain, menciptakan inequality antara dirinya dan orang lain). Mereka mengkuantifikasi segala sesuatu yang mempunyai domain yang ga jelas (atau dibuat ga jelas) sehingga mudah di leverage. Mereka menggunakan pelindung (orang yg mereka follow) demi eksistensi mereka sehingga selalu melempar permasalahan dan tanggung jawab kepada pelindung tsb (tidak membumi, selalu berlari). Merekapun meyakini eksistensi mereka ketika mereka tdk mempercayai sistem yg menaungi mereka. Bahkan dalam hal agama mereka mempercayai agama mereka karena eksistensinya dan bukan karena kebenaran yg dibawa agama tsb. Semua derivatif ini punya efek meringankan dan melayang (menggapai orang lain, pijakan dinamis, inequality, demi kuantitas, leverage, tidak membumi). Kalau sudah ringan dan melayang seperti ini maka sedikit dorongan atau usaha saja dapat menggerakkan mereka dengan mudah, cepat dan tanpa meninggalkan jejak. Mereka bisa menjadi kekuatan masa yg asal ikut saja. Ketika ada suatu permasalahan mereka bisa menunjukkan support/bantuan mereka secara masiv dan terselubung tanpa kejelasan bentuk support mereka itu apa (kalau support mereka didefinisikan maka mereka akan menolak atau bahkan tdk mau mengakuinya) dan hubungan mereka apa terhadap masalah tersebut. Kegiatan yg terselubung inilah yg membuat mereka sangat-sangat hipokrit. Merekapun dapat dengan mudahnya dikendalikan untuk bergerak kekiri dan kekanan. Kemudahan, kecepatan, fleksibilitas yg seperti inilah yg kemudian menjadi jargon dalam mengejar impian/rencana yg sudah mendapat jaminan kepastian.
Dizaman modern ini eksistensi selalu berhubungan dengan perputaran uang (di tulisan gue yang lain gue pernah jelaskan mengenai salah satu model perputaran uang. Silahkan baca
disini). Ketika yang floating (melayang) ini diintercept dengan arus perputaran uang, mereka akan terbawa oleh arus tersebut untuk membentuk siklus, karena arus memang membutuhkan siklus. Model siklus yang terburuk dari perputaran uang adalah siklus money laundering, dan sayangnya, siklus yang terburuk inilah yang paling sesuai untuk orang-orang yang melayang ini karena stereotype yang mereka miliki. Yang floating selalu merasa dirinya spesial, lebih dari orang lain, karena mereka mau untuk dimanfaatkan dan memanfaatkan (termasuk apa yg ada diwilayah personal mereka) sehingga mereka merasa sudah menciptakan manfaat yang sebesar-besarnya. Mereka tidak akan bisa cukup peduli dan sadar untuk melakukan kalkulasi atas kemampuan mereka karena secara inherent mereka hanya peduli untuk perwujudan mimpi, perencanaan dsb. Tanpa kalkulasi, terkadang mereka overshoot kuantitas yg sebenarnya mereka deserve makanya mereka sangat prone terhadap siklus yang terburuk yaitu money laundering.
Merekapun menerima arus money laundering dengan kuantitas yg biasanya cukup besar sebagai hal lumrah sebagai imbalan atas manfaat sebesar-besarnya (termasuk manfaat dari eksploitasi yg ada diwilayah personal) yang sudah mereka timbulkan. Mereka pun tidak menyadari bahwa arus yang mereka bawa tersebut menciptakan tegangan-tegangan yang bisa terjadi pada lingkungan mereka sendiri dititik-titik dimana terdapat resistansi. Tapi karena mereka ini kebanyakan follower, mereka mengikuti saja ketika mereka diperintahkan untuk menyerang atau terus bersinggungan dengan resistansi-resistansi ini, baik secara mental atau fisik, sehingga resistansi berkurang dan mungkin hilang. Ironinya, karena mereka tidak bisa mengkalkulasikan kuantitas yang seharusnya mereka terima, maka its just more and more, sehingga tidak ada lagi resistansi (termasuk resistansi dari kepentingan yang sifatnya personal). Ketika tidak ada resistansi, by default mereka akan shorting (short circuit). Sehingga, untuk menjaga agar resistansi tetap ada dan mencegah shorting, mereka mulai mengambil lebih banyak lagi diwilayah yg personal ini yang berhubungan dengan orang lain sehingga resistansi terakumulasi dari wilayah yg personal ini. Walaupun, untuk menahan arus yang mengalir akibat dedikasi mereka, wilayah personal yang mereka gadaikan(jaminkan) yang terus terdorong ini hanya menimbulkan resistansi yg tidak berarti.
Disini terjadi paradoks lagi, untuk menimbulkan resistansi dan mencegah shorting, mereka melakukan usaha yg justru dapat menghilangkan resistansi (mereka semakin terdedikasi). Mereka mendorong-dorong batasan (hambatan, resisten) yang tersisa, yang selama ini mencegah terjadinya shorting, hanya utk menimbulkan resistansi tambahan. Padahal, dorongan tersebut justru bisa menghilangkan/melemahkan batasan ini. Pada akhirnya, resistansi kecil diwilayah personal yang semakin tergerus dengan dorongan ini akan dapat diabaikan, ketika arus yang mengalir semakin besar seiring dengan dedikasi para follower, yang ingin tetap floating ini, yang juga semakin besar. Terjadilah short.
Ini yg gue pelajari dr analisa gue mengenai aliran sesat: siklus money laundering terjadi ketika ada pelaku kejahatan dan ada pencucian uang. Ada si hitam dan ada si putih berputar dan yang mereka perlu lakukan adalah mengikuti arus tersebut terkadang dengan mengikuti perintah yang ada. Disini memberi dan menerima didedikasikan untuk siklus tersebut. Simbiosis mutualisme terjadi secara natural dimana keduanya tidak terlihat menyatu karena adanya sekat penghubung. Si putih mengcover kejahatan yang dilakukan si hitam. Si putih overshoot kuantitas, si hitam merajalela. Tapi si putih ini tidak pernah menyadari kalau mereka bagian dari extra-ordinary crime, hanya karena mereka yang sudah memberi manfaat sebanyak-banyaknya (mengeksploitasi manfaat sampai ke wilayah yg sifatnya personal), merasakan kalau overshoot kuantitas yg mereka terima adalah hak mereka atas manfaat yg mereka sdh berikan dan mereka pun pantas mendapat leverage. Yang putih ini pulalah yang menganggap aksi mereka melenyapkan resistansi yang ada, termasuk dengan terus mendorong wilayah personal, sebagai salah satu manfaat yg mereka berikan kepada lingkungan, terutama demi tercapainya kuantitas impian mereka. Ketika its just more and more, garis pembatas menipis, dan si hitam dan si putih mulai berbaur sehingga ada yang abu2. Yang abu2 inilah yg pertama kali terkena imbasnya ketika shorting mulai terjadi. Si hitam mungkin kejahatannya bisa didefinisikan sehingga bisa ada tindakan hukum, tetapi si putih, kejahatan mereka tidak terdefinisi makanya mereka diarahkan dan dipersiapkan untuk keikhlasan menerima nasib yang ditentukan oleh orang yang mereka follow, orang yang mereka ikuti demi eksistensi mereka. Yg putih tdk mengetahui apa yg diketahui orang yg mereka follow, apa yang direncanakannya. Mereka lupa utk mencari tauk apa yg harusnya mereka ketahui sehingga seringkali hal ini berakibat fatal. Mereka ini cuma orang2 yg malas utk menentukan nasib mereka sendiri. Kalau ada orang lain yg tauk apa yang akan terjadi pada kita, itu berarti ada orang lain yg ingin membelokkan takdir dari Tuhan YME. Ketika seseorang punya kekuasaan yg bisa membelokkan takdir dan nasib orang lain dengan paksaan maka pastinya ada yg salah dengan pijakan tempat kita berdiri.
Ketika seseorang hanya bisa mempercayai sesuatu yg eksis atau berwujud, maka seseorang sudah mengikuti nalurinya. Naluri untuk eksis menimbulkan instinct survival. Ketika naluri ini kemudian jauh lebih besar daripada pemikiran manusia yg bertautan dengan ajaran dan aturan yg berlaku, maka yang terjadi adalah naluri tersebut menyetir logika/pemikiran manusia tersebut.
Naluri yg merupakan titik lemah manusia dipakai sebagai dasar yang menentukan logika/pemikiran (titik kelebihan manusia relatif thdp mahluk lainnya). Disini hal-hal yg tdk normal menjadi normal agar konsisten dengan naluri mereka. Disinilah ketika manusia menjadi sangat berbahaya dan destructive karena dengan logika dan pemikiran, mereka berusaha memenuhi naluri mereka. Kucing aja klo kepepet tidak akan memakan bangkai kucing lain, tapi manusia dengan logika survival mereka bisa menjustifikasi hal seperti ini.
Inilah makanya beberapa aliran sesat mensyaratkan hal-hal yg aneh utk dilakukan sebagai inisiasi mereka. Dari awal mereka sudah dibina mengedepankan naluri mereka, yaitu untuk menjadi bagian dari sesuatu yg lebih eksis dari diri mereka, shg mengenyampingkan kewajaran. Naluri ini dibina shg lebih utama daripada pemikiran yg berasal dari pengetahuan yg bisa mencegah mereka melakukan hal yg tidak wajar. Naluri ini yg kemudian menerobos lebih jauh menggerogoti wilayah personal mereka, seperti hubungan mereka dengan orang lain, masyarakat atau negara, sehingga resistansi semakin berkurang. Mereka hanya dengan mengandalkan informasi akan bisa menjatuhkan orang lain dengan aksi mereka, bahkan mereka mampu menggunakan fasilitas yang disediakan yang datang bersama informasi tersebut untuk aksi yang mereka lakukan. Inilah pengorbanan yg mereka lakukan. Pengorbanan-pengorbanan seperti inilah yang membuat harga manusia murah sekali termasuk harga mereka sendiri yg melakukan aksi tersebut. Tapi anehnya, akibat kuantitas yg mereka terima dan persepsikan, mereka tidak menyadari hal tersebut dan malah membangun persepsi kuantitas yg besar tersebut sebagai tameng wilayah personal mereka yg sudah kosong karena tergerogoti. Akibat kebutuhan akan kuantitas yang seperti inilah mereka akan menjadi seperti kontainer. Disinilah ketika kontainer kosong tersebut mulai berkoar masalah kekayaan, jabatan, dan segala sesuatu di wilayah personal yg bisa terkuantifikasi (yg bisa terkuantifikasi pasti bisa dipamerkan), termasuk agama. Dan krn mereka selalu menginginkan "more", mk kontainer tsb akan selalu setengah kosong. Mereka pun kmdn menjadi kontainer-kontainer yg selalu haus akan misi mengisi kontainer dengan kuantitas apapun utk dibawa ketujuan tertentu.
Tanpa resistansi, yang biasanya timbul akibat gesekan naluri dan pengetahuan, wilayah personal kemudian semakin tergerus ketika kuantitas digunakan sebagai dasar perhitungan akan manfaat atau tidaknya suatu hal tanpa menggunakan ajaran dan aturan yang berlaku. Tanpa ajaran dan aturan, segala sesuatu yang menurut kuantitas lebih banyak menghasilkan (lebih eksis), maka akan dianggap lebih bermanfaat. Dengan kuantitas, manusia menjadi lebih mudah menilai segala sesuatunya, termasuk sesuatu yang tidak pada tempatnya untuk mereka nilai (yg tidak merupakan tugas dan tanggung jawab mereka sesuai aturan yang berlaku). Gue udah kasih contoh ditulisan sebelumnya bagaimana mereka menghargai manusia lain, padahal kita tauk manusia adalah ciptaanNya yg terlalu berharga untuk dinilai dan ditindak dengan hanya menggunakan informasi yang ga bisa terverifikasi sumbernya. Apalagi mereka bisa melakukan aksi tanpa ada alur tanggung jawab yg jelas akan aksi mereka, aksi akan hal yg mereka tidak ketahui/kenal, aksi yg hanya mereka ketahui melalui informasi searah saja. Action out of nothing. Inilah ketika orang meremehkan pengetahuan agama, menganggap Tuhan mereka tidak eksis sehingga menganggap pengetahuan agama tidak penting dibandingkan eksistensi mereka sebagai umat, sehingga penyimpangan terjadi. Mereka menganggap informasi, impian, idea, harapan mereka lebih penting daripada pengetahuan. Tingkat kekosongan kontainer-kontainer ini semakin tinggi ketika informasi tersebut hanya mengandung informasi mengenai emosi, perasaan, psikis, harapan, pengalaman, impian dari orang lain yang sebenarnya tidak bisa mereka nilai. Penilaian yg tidak pada tempatnya dan pada hal yg tidak dapat terkuantifikasi menciptakan kekosongan dan menjadi budaya yg kmd tereksploitasi dan termanipulasi oleh teknologi dan globalisasi.
Kekosongan yg merupakan efek transisional ketika orang berusaha mengkuantifikasi (mengukur) hal yg tdk dpt terkuantifikasi bahkan tanpa menggunakan batasan yg jelas, menciptakan efek transisi yg lebih parah lagi (berantai). Kekosongan ini menciptakan dorongan utk mengisinya dengan materi tertentu, dimana materi tsb terkadang bisa didapat melalui jalur yg ga jelas(jalur yg tdk diakui) atau dg mempertaruhkan apa yg ada diwilayah personal mereka atau dengan menerima perwujudan impian menjadi kenyataan.
Pada akhirnya, eksistensi mereka, yg merupakan referensi mereka dalam menentukan segala hal, ternyata sangat bergantung pada hal-hal yg tidak mereka akui/yakini keberadaannya atau yg mereka ragukan eksistensinya atau yg sebenarnya semu. It's all paradox. Adalah juga paradoks ketika
massa atau komunitas tertentu kemudian dapat aktif mendikte dan mengendalikan ideologi dan bukan sebaliknya ideologi mengendalikan massa.
But why all of these paradoxes? Tuhan YME memperkenalkan satu paradoks kepada manusia dengan mensabdakan bahwa dunia (kenyataan) hanyalah sebuah kesemuan dan memperkenalkan ajaran agama sbg hal yg real utk tempat berpijak shg paradoks tersebut mempunyai ujung yg jelas. Tapi paradoks-paradoks yg gue utarakan sebelumnya, asal muasalnya adalah dari paradoks yg melihat dunia yg semu sbg hal yg nyata (bahkan skrg internet memperparah hal ini), shg tindakan mereka akan berpijak pd hal yg mereka anggap nyata tsb (contohnya eksistensi dan hal yg eksis, pengalaman hidup). Disini jelas klo paradoks-paradoks tsb asalnya bukan dari Tuhan YME krn bertolak belakang dg ketentuan Tuhan YME. So, ada Tuhan yg lain?
Ketika ada hal yg diremehkan atau tdk diyakini, hal yg ditertawakan krn hal tsb impossible, coba renungkan sejenak, karena mungkin saja kelakuan tsb akibat kurangnya pemahaman yg detail atas sesuatu yg seharusnya dipahami. Ketika batasan hilang, you should believe all the impossible, like Alice.